Tampilkan postingan dengan label jataka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jataka. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 April 2017

Bagian 2 : BERTAPA DI HUTAN URUVELA

Dalam rangka memperingati hari Pelepasan Agung Sakyamuni Buddha yang jatuh pada hari Minggu, 5 Februari 2017 (Lunar tanggal 8 bulan 2), Cetya Tathagata Jakarta akan memberikan artikel mengenai kisah Pelepasan Agung Sakyamuni Buddha yang akan terbagi menjadi 3 artikel
Bagian 1 : Pangeran Siddharta Meninggalkan Istana
Bagian 2 : Bertapa Di Hutan Uruvela
Bagian 3 : Penerangan Agung
Bagian 2 : BERTAPA DI HUTAN URUVELA
Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari berdiam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.
Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa. “Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.” “Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orang tuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”
“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari Rajagaha, pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut Pertapa Gotama) berguru kepada Alara Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya. Di tempat ini Pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal lahir. Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab-musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka Pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta, yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai. Dari Uddaka-Ramaputta, Pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaan “Bukan-Pencerapan Pun Bukan Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat Pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi Pertapa Gotama masih belum puas sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit, dan mati. Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah Pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji, dan Kondañña) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil, maka Pertapa Gotama lalu melakukan latihan yang lebih berat lagi. Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur keluar dari ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sediki menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar melalu hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya. Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.
Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja, kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kala perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya beruba menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran. Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.
Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.
Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.
Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.”
Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu.
Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.
Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut maka Pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, Pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian Pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali. Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di Benares.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk Pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang diantaranya menyanyi dengan syair sebagai berikut:
“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendur ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar nyanyian itu, Pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata, “Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur.”
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon dimana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan, “Oh, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari khayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.” Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon. Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara Pertapa Gotama dengan Sujata seperti di bawah ini.
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah ucapan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah:
“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah kehidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, maka hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi persembahan kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya harus mati?”
Mendengar penjelasan Sujata maka Pertapa Gotama menjawab,
“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”
“Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuan sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku.”
Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi Sungai Nerañjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai Pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dan berkata, “Kalau memang waktunya sudah tiba, mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Suatu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Selasa, 11 April 2017

Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta

Dhammapada Ayat 66
Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta
Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.
Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata: “Kamu hanya seorang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun yang mendekati kamu. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan pula bahwa kamu tidak bermanfaat bagi mereka”.
Suppabuddha menjawab, “Sesungguhnya saya bukanlah orang miskin, tanpa seorang pun yang percaya. Saya orang kaya; saya meyakini tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), malu berbuat jahat (hiri), takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa), pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna). Kemudian Sakka menghadap Sang Buddha mendahului Suppabuddha dan menceritakan percakapannya dengan Suppabuddha.
Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha. Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah satu raksasa yang menyamar sebagai seekor sapi.
Raksasa ini tidak lain adalah pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya yang lampau dan yang telah memenuhi keinginannya untuk membalas dendam. Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, dimana Suppabuddha dilahirkan kembali dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di Alam Dewa Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah meludahi seorang Paccekabuddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 66 berikut: Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.

Senin, 11 Juli 2016

Kerajaan Lebah



Suatu hari, Sang Buddha Sakyamuni beserta para pengikut Beliau, termasuk muridnya Maudgalyayana, singgah di suatu kerajaan untuk menyebarkan ajaran Sang Buddha. Ketika para penduduk di sana melihat Sang Buddha, mereka menutup pintu rumah mereka dan mengacuhkan Beliau.

Namun ketika mereka melihat Maudgalyayana, mereka segera menyambutnya. Semua orang, dari Raja, menteri, dan seluruh rakyat di sana, semua memberi hormat, bahkan berebutan untuk memberikan persembahan kepadanya.

Murid Buddha lainnya berpikir bahwa ini tidaklah adil. “Sang Bhagava,” kata para murid Buddha, “Kebajikan Anda begitu Agung/ Mulia; mengapa mereka tidak memberikan persembahan kepada Anda, tapi malah berebutan untuk memberikan persembahan kepada Maudgalyayana?”

“Ini disebabkan oleh ikatan (karma) masa lampau," kata Sang Buddha. "Saya akan memberitahu Anda. Pada masa lampau, sejauh kalpa yang tak terhitung banyaknya, Maudgalyayana dan saya hidup di negara yang sama. Dia mengumpulkan kayu bakar di gunung, sedangkan saya tinggal di gubuk di bawah gunung. Segerombolan lebah mengganggu saya, dan kemudian saya mengusir mereka.

Tapi Maudgalyayana menolak untuk membantu (mengusir lebah-lebah itu), meskipun mereka menyengatnya sampai tangannya bengkak dan nyeri. Malahan, ia berikrar, ‘Pastilah sengsara hidup sebagai (menjadi) lebah,’ pikirnya. ‘Saya berikrar bahwa ketika saya mencapai Pencerahan, saya akan berusaha untuk menyelamatkan lebah yang seperti asura ini!’

Banyak kehidupan telah berlalu, kini lebah-lebah tersebut dilahirkan kembali sebagai penduduk di kerajaan ini. Ratu lebah menjadi Raja, lebah-lebah jantan-nya menjadi menteri, dan para lebah pekerja menjadi warga/ penduduk di sini. Karena dahulu saya tidak menyukai lebah-lebah tersebut, sekarang saya tidak memiliki ikatan (karma) dengan orang-orang ini, maka sekarang tidak ada yang memberikan persembahan kepada saya. Tetapi karena ikrar Maudgalyayana, semua penduduk di sini menghormatinya.”

LAND OF THE BEES

Once Sakyamuni Buddha and his disciple Maudgalyayana went with a large gathering of followers to another country to convert living beings. When the citizens saw the Buddha they shut their doors and ignored him.

When they saw Maudgalyayana, however, they ran to greet him, and everyone, from the King and ministers to the citizens, all bowed and competed to make offerings to him.

The Buddha's disciples thought this most unfair. 'World Honored One,' they said, 'your virtuous conduct is so lofty; why is it that they do not make offerings to you, but instead compete to make offerings to Maudgalyayana?'

'This is because of past affinities,' said the Buddha." I will tell you. Limitless aeons ago, Maudgalyayana and I were fellow-countrymen. He gathered firewood in the mountains and I lived in a hut below. A swarm of bees was bothering me and I decided to smoke them out.

But Maudgalyayana refused to help even though they stung him until his hands were swollen and painful. Instead, he made a vow, "It must be miserable to be a bee," he thought. "I vow that when I attain the Way I will try to save these asura-like bees first thing!"

Many lifetimes later the bees were reborn as the citizens of this country. The queen bee became the King, the drones became the ministers, and the workers became the citizens. Because I didn't like the bees, I now have no affinity with these people and therefore no one makes offerings to me. But because of his vow, all the citizens revere Maudgalyayana'.

Kisah tentang KEMELEKATAN



Pada suatu ketika, hiduplah seorang Master Zen yang sangat tekun dan gigih dalam berlatih meditasi. Beliau bahkan memilih tidur dalam posisi duduk (bermeditasi) daripada tidur berbaring, dan Beliau hampir tidak pernah beristirahat. Meskipun Beliau sudah bertahun-tahun begitu gigih berlatih meditasi, ia masih belum mencapai pencerahan.

Suatu hari, seorang Samanera yang entah berasal dari mana, memohon untuk bergabung dengan Master Zen ini. Samanera ini sangat malas, dimana seringkali ia masih berada di kasur ketika bel/ lonceng yang menandakan sesi kebaktian pagi berbunyi. Ketika Sang Master mengetahui kelakuan Samanera ini, Beliau memanggilnya dan menegurnya seperti demikian, “Bagaimana Anda bisa bergabung dengan saya namun tetap sangat malas dan selalu tidur? Apakah Anda tidak ingat ada aturan disiplin mengatakan: ‘Terus berada di kasur dan tidak bangun (dari kasur) ketika bel/lonceng berbunyi dapat menyebabkan kelahiran kembali sebagai ular?’”


Samanera itu menjawab, “Master, Anda mengatakan bahwa saya selalu tidur dan karena itu akan (terlahir kembali) menjadi ular. Bagaimana dengan Master? Anda melekat pada posisi duduk... Apakah Anda akan terlahir kembali menjadi katak? Bagaimana Master berharap untuk dapat tercerahkan?”

Segera setelah percakapan ini, Samanera ini menghilang. Namun, Sang Master tercerahkan...

Menurut cerita, Samanera itu sebenarnya merupakan Bodhisattva yang “menyamar” menjadi Samanera untuk menolong agar Sang Master tercerahkan.

ATTACHMENT (TO EXTERNAL FORMS OF CULTIVATION)

There was once a Zen Master who practiced meditation with extreme diligence. He usually slept in a sitting position rather than lying down, and hardly rested much at all. However, despite practicing meditation for many years, he still had not become enlightened to the Way.

One day, a novice of unknown provenance sought permission to join the Order. This novice was habitually lazy, to the point where he would often remain in bed even after the bell announcing the early prayer session had been rung. Informed of this, the Master summoned him and scolded him in the following terms, 'How is it that you have joined the Order but are still so lazy as to be always lying down? Don't you remember what the rules of discipline say: 'Remaining in bed and failing to arise after hearing the bell will bring the future retribution of rebirth as a snake?'

The novice replied, 'You said, Master, that I often lie down and therefore will become a snake. How about you, who are attached to the sitting posture? You will be reborn a toad. What can you ever hope to awaken to?'

Immediately after this exchange, the novice disappeared. However, the Master had been awakened.

As the story goes, the novice was in fact a Bodhisattva, who had assumed the appearance of a novice in order to enlighten the Master...