Tampilkan postingan dengan label ki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ki. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 April 2017

KISAH KEHIDUPAN MASTER HUI NENG (BAGIAN 3 - AKHIR)

KISAH KEHIDUPAN MASTER HUI NENG (BAGIAN 3 - AKHIR)
14. MENGAGETKAN ORANG
Hui Neng melanjutkan perjalanannya kearah selatan, sampai didaerah Shao Zhou Kabupaten Qu Jiang (韶州曲江縣), namun para pemerintah dan penduduk saat itu masih belum mengenalnya.
Suatu ketika seorang pelajar confusianis bernama Liú Zhì Luè (劉志略), ketika bertemu dengan Hui Neng terlihat sangat sopan dan hormat, pelajar ini mempunyai seorang bibi yang menjadi seorang samana bernama dharma Wú Jìn Cáng (無盡藏) dan bertemu dengan Hui Neng beliau sering membaca sutra Mahaparinirvana, saat mendengar kata –kata sutra tersebut Hui Neng segera memahami makna agung yang ada didalamnya. Kamudian sang bhikkuni tersebut memohon Hui Neng untuk menjelaskan maknanya, namun sang bhikkuni tersebut sangat melekat dengan kata – kata tulisan didalamnya, sedangkan Hui Neng tidak mengerti tulisan sama sekali, maka sang bhikkuni tersebut pun merasa merendahkan Hui Neng, kemudian Hui Neng berkata:
“Dharma agung mulia dari para Buddha, sedikitpun tidak terpengaruh oleh tulisan ataupun bahasa.”
Sang bhikkuni mendengar penjelasan tersebut merasakan bahwa Hui Neng bukanlah orang bisa, maka beliau segera memberitahukan kepada penduduk agar membangun sebuah vihara untuknya.
15. PELEPASAN MAKHLUK HIDUP
Bao Lin Monastery di daerah Cao Xi didirikan dari sebuah vihara kuno, namun sejak zaman dynasty Sui akhir kemudian dihancurkan oleh tentara. Karena atas permintaan dari bhiksuni Wu Jin Zang (無盡藏) kemudian seorang bernama Cao Shu Liang (曹叔良) dan para penduduk membangun sebuah vihara untuk master Hui Neng. Kemudian master Hui Neng tinggal dan menetap di Bao Ling Monastery selama lebih dari 9 bulan, namun karena adanya serangan dari kelompok partai jahat maka master Hui Neng kemudian bersembunyi digunung. Karena kejanmnya sekelompok orang tersebut maka gunung tersebut pun dibakar, akhirnya master Hui Neng bersembunyi didalam goa batu untuk menghindari adanya bahaya.
Menurut cerita bekas tempat duduk master Hui Neng diatas batu dalam goa tersebut masih membekas sampai saat ini. Sehingga disebut sebagai Batu Persembunyian (dari master Hui Neng). Dalam ketidak berdayaannya, master Hui Neng kemudian tinggal bersama para pemburu, master Hui Neng juga sering memberikan nasehat kepada para pemburu tersebut, namun mereka justru memerintahkan beliau untuk menjaga jarring tempat buruan. Karena cinta kasih yang begitu dalam setiap kali beliau melihat ada hewan yang tertangkap oleh jarring maka beliau segera membebaskannya kembali. Para pemburu tersebut menggantungkan hidup dari hasil buruannya, dan juga menggunakan hasil buruan sebagai bahan makanannnya; namun master Hui Neng setiap hari hanya memakan sayur seorang dir , yang beliau masukkan pada saat memasak daging para pemburu, beliau memakan sayur setelah memisahkan dagingnya.
16. HATI YANG SEDANG BERGERAK
Master Hui Neng merasa waktu untuk membabarkan dharmanya sudah sampai, dan tidak mungkin beliau hanya bersembunyi saja selamanya. Maka beliau segera berjalan menuju daerah Guang Zhou dan sampai di Fa Xing Monastery (广州法性寺) , sungguh sangat tidak terduga pada saat itu sedang ada pesamuan dharma besar membahas tentang Parinirvana Suta (涅槃经) yang dipimpin oleh master Yin Zong (印宗法師) .
Pada saat sampai divihara, di depan ruangan Dharmasala beliau bertemu dengan dua orang bhiksu yang sedang berdebat tentang masalah Angin dan Bendera. Salah satu dari mereka berkata: ”Angin yang sedang bergerak!” Dan yang lain berkata: ”Bendera yang bergerak!” Mereka berdua berdebat tidak ada habisnya, kemudian master Hui Neng dari samping berkata: “Bukan angin, bukan juga bendera yang bergerak, namun hati yang mulialah yang sedang bergerak!”
Kata kata tersebut membuat dua orang tersebut terkaget, tiba – tiba master Yin Zong menghormat master Hui Neng dan memohonnya agar bersedia memberikan ceramah dharma yang demikian dalam dan menarik. Saat mendengar kata-kata master Hui Neng yang demikian singkat dan tidak terpaku pada tata bahasa namun sangatlah masuk akal maka master Yin Zong segera bertanya:
”Anda adalah seorang yang luar biasa, berbeda dari orang pada umumnya. Hamba telah lama mendengar bahwa generasi penerus zen ke-6 dari Huang Mei Shan sedang menuju kearah selatan, apa beliau adalah Anda?”
Hui Neng dengan rendah hati kemudian mengakuinya, master Yin Zong segera memberi hormat kepada sang guru zen.
17. MASTER HUI NENG MENINGGALKAN KEHIDUPAN DUNIAWI
Setelah memberi hormat kepada master Hui Neng, master Yin Zong memohon kepadanya agar bersedia memperlihatkan jubah dan patra zen, setelah melihatnya semua orang satu demi satu bersujud menghormat master Hui Neng. Master Yin Zong bertanya:
“Master kelima (ven.Hong Ren) setelah memberikan jubah dan patra, apakah nasehat yang beliau berikan pada anda?”
Master Hui Neng menjawab:
"Beliau sedikitpun tidak memberikan nasihat, hanya saja harus belajar melihat sifat asli (kebuddhaan), dan tidak berbicara tentang medhitasi untuk mencapai pencerahan.”
Master Yin Zong kembali bertanya:
“Mengapa tidak menekankan pada meditasi dan pencerahan ?”
“「佛法是不二之法,若論禪定解脫,這是二法,不是佛法。何謂不二法?
「法師講涅槃經,闡明佛性,即是不二之法;
例如:高貴德王菩薩白佛言:犯四重禁,作五逆罪,及一闡提等,當斷善根佛性否?
佛言:善根有二:一者常;一者無常。佛性非常、非無常,是故不斷。
名為不二。一者善,二 者不善,佛性非善、非不善,是名不二。
蘊之與界,凡夫見二,智者了達,其性無二。無二之性,即是佛性。」”
Suatu ketika seorang Bodhisattva bertanya pada Buddha: "Jika melanggar 4 larangan besar, melakukan 5 karma buruk besar dan keburukan lain apakah dapat memutuskan benih kebodhian kita?" Buddha menjelaskan bahwa benih kebodhian dibagi menjadi 2 yaitu selalu tetap / abadi dan dapat berubah. Namun benih kebuddhaan manusia adalah tidak tetap juga tidak berubah, maka tidak akan dapat terputuskan karena karma buruk. Maka dengan penjelasan singkat semua makhluk jahat dan baik pun tetap lah mempunyai hati pencerahan Buddha, mungkin memang tidak terlihat oleh orang biasa karena manusia biasa hanya melihat baik dan buruk sedangkan orang bijak melihatnya dengan jelas dan sama rata.
Mendengar penjelasan dari master Hui Neng dia sangat bergembira dan beranjali memberi hormat dan berkata: “Dharma yang saya babarkan hanya seperti batu bata, namun penjelasan anda sangatlah dalam murni seperti emas asli.” Maka kemudian master Yin Zong menetapkan hari untuk pemberian sila penuh (Uppasampada) kepada master Hui Neng.
18. KEMBALI KE CAO XI
Pada bulan pertama (imlek) hari ke-15, master Yin Zong melakukan pendiksaan dengan mencukur rambut Hui Neng sebagai samanera; kemudian pada bulan 2 hari ke-8 mengundang para sesepuh dan memberikan uppasampada kepada Hui Neng.
Dengan guru vinaya Zhi Kuang dari Chang An sebagai guru sila acarya,
Guru vinaya Hui Cing dari Suzhou sebagai karma acarya,
Guru vinaya Tong Ying dari Xing Zhou sebagai dharma acarya,
Guru vinaya Qituolo dari india tengah sebagai pengantar sila dan
Guru tripitaka Mituo dari india barat sebagai saksi.
Mengenai penerimaan uppasampada dari Hui Neng sejak jaman dinasti Song telah ada seorang bhiksu dari india yang bernama Gunabhadra yang menuliskan ramalan di altar uppasampada:
“Kelak di altar ini akan ada seorang Bodhisattva bertubuh manusia yang menerima sila bhiksu.”
Begitu juga pada masa dinasti Liang, seorang bhiksu dari India barat yang berlabuh pernah membawa pohon bodhi kemudian menanamnya disamping tempat uppasampada tersebut dan juga meramalkan:
”170 tahun kemudian akan ada seorang manusia Bodhisattva yang mengajarkan dharma dan menolong banyak makhluk dibawah pohon bodhi ini, benar - benar seorang penerus dharma yang sejati.”
Dua ramalan yang berbeda masa tersebut ternyata memang terbukti karena ditempat itulah Hui Neng menerima sila uppasampada dan kemudian meneruskan generasi dari leluhur ke-4 dan ke-5, kemudian mengembangkan dharma di arah timur. Kemudian akhirnya leluhur ke-6 kembali ke Cao Xi di Baolin Monastery. Pada saat itu pula master Yin Zong mempersembahkan sebuah jubah kepada leluhur ke-6. Pada saat itu terdapat ribuan orang yang mengantar leluhur ke-6 kembali ke Cao Xi.
19. MENAKLUKKAN NAGA SILUMAN
Di depan altar dharmasala Baolin di daerah Cao Xi, terdapat sebuah kolam yang dalam. Seringkali muncul ular naga siluman raksasa dari dalam kolam tersebut kemudian datang angin besar dan ombak yang dahsyat. Hal tersebut membuat para murid vihara ketakutan sehingga tidak berani mendekatinya.
Suatu hari saat naga tersebut menampakkan diri, master Hui Neng kemudian menemuinya dan berkata:
“Kenapa kamu membuat angin dan ombak besar disini? Karena kamu dapat berubah menjadi besar, seharusnya juga bisa menjadi kecil, jika kamu dewa maka tunjukkan wujud kecil menjadi besar dan dari besar menjadi kecil!”
Kemudian naga pun berubah menjadi kecil dan keluar dari dalam kolam, master Hui Neng mengujinya :
“Apakah kamu berani masuk ke dalam patra tua ini?”
Naga yang berubah bentuk menjadi kecil kemudian terbang sampai didepan master Hui Neng, karena sudah masuk ke dalam patra maka nagapun tidak dapat melarikan diri lagi. Kemudian master Hui Neng membawanya kedalam dharmasala dan memberikan bimbingan dharma kepadanya, karena itulah akhirnya sang naga dapat terbebas dari tubuh naga tersebut . Panjang tulangnya kira-kira 7 inchi (kira - kira 25 cm) lengkap dengan ekor dan kepalanya kemudian disimpan di vihara. Setelah itu master ke-6 kemudian memerintahkan menutup kolam dengan batu dan tanah, saat ini di samping kiri dharmasala terdapat sebuah stupa dari besi itulah sebenarnya tempat tadi.
20. SUARA DHARMA DI BAO LIN MONASTERY
Setelah kembalinya master Hui Neng ke BaoLin Monastery, dengan sendirinya namanya semakin membesar, sehingga membuat vihara zen tersebut semakin ramai dengan para penganut dan kegiatan keagamaan. Pada saat itu zaman dinasti Tang, Cao Xi adalah sebuah daerah administrasi dibawah pimpinan propinsi Shaozhou Qujiang, yang sekarang lebih dikenal sebagai Guang Dong.
Pada saat itu gubernur Wei adalah pemimpin daerah prefektur Shao Zhou, beliau adalah seorang penganut Buddhis yang taat. Ketika mengetahui bahwa jubah dan patra zen telah diwariskan di daerah selatan, dia merasa sangat senang dan berkunjung kedaerah Cao Xi Nan Hua Mountain Bao Lin Monastery untuk menjumpai sang master zen ke-6 memohon bimbingan Dharma dari beliau.

KISAH KEHIDUPAN MASTER HUI NENG (BAGIAN 2)

KISAH KEHIDUPAN MASTER HUI NENG (BAGIAN 2)
8. HUI NENG MEMBUAT GATHA
Shen Xiu meskipun setelah berhari-hari berdiam diri d ikamar berusaha untuk membuat gatha yang baru namun tidak juga terpikirkan gatha yang baru. Suatu hari seorang samanera berjalan melewati dapur tempat Hui Neng bekarja dengan melafalkan gatha yang dibuat oleh Shen Xiu: ”身是菩提樹,心如明鏡臺。。。” Ketika Hui Neng mendengarnya dia sudah mampu mengetahui bahwa gatha tersebut belum tercerahkan dan belum mampu mencapai dasar kebuddhaan, namun dia tidak tau siapa yang membuatnya. Hui Neng bertanya kepada samanera tersebut:
”Yang Mulia, siapakah yang membuat gatha tersebut?”
“Kamu seorang barbar apakah mengerti gatha? Yang membuat adalah seorang yang sangat terkenal di vihara ini dia adalah senior Shen Xiu. Gatha tersebut ditulisnya di dinding jalan aula bagian selatan, master ke-5 meminta semua murid agar melafalkan dan menghormati gatha tersebut. Karena jika berlatih diri berdasarkan gatha tersebut maka akan mampu terbebas dari alam menderita, dan mendapat manfaat yang besar! Mungkin master Hong Ren akan mewariskan jubah kepadanya.”
Mendengar hal tersebut Hui Neng berkata: “Yang Mulia, saya baru 8 bulan disini dan selama ini belum pernah berjalan sampai kedepan vihara. Mohon yang mulia mengantar saya untuk melihat gatha tersebut.”
Samanera tersebut kemudian mengantarkannya menghormat gatha, karena Hui Neng adalah seorang yang buta huruf maka memohon kepada samanera untuk membacakan untuknya. Pada saat itu pula di dekat mereka ada seorang pejabat dari daerah Jiang Zhou (江州今江西九江等縣) bernama Zhang Ri Yong (張日用) maka Hui Neng segera memintanya: ”Saya juga mempunyai sebuah gatha mohon pejabat untuk membantu menulisnya.” Pejabat ini saat mendengarnya merasa kaget dan tidak percaya: ”Kamu? Kamu juga ada gatha?” Hui Neng mengetahui pejabat tersebut sedang merendahkannya, kemudian berkata: “Semua orang sebenarnya memiliki benih kebodhian, jika ingin belajar dharma yang tiada batas maka tidak semestinya merendahkan seorang pemula. Karena sifat kebodhian tidak lahir karena adanya karma baik, juga melampaui kata-kata dan tulisan, maka seorang rendahan juga mungkin mempunyai kebijaksanaan tinggi. Namun orang-orang berkedudukan tinggi kadang justru tidak mempunyai kebijaksanaan yang dalam.”
Pejabat tersebut kemudian bersedia menuliskan gatha tanpa ada rasa merendahkan Hui Neng lagi, dia juga memohon jika kelak Hui Neng sukses dalam melatih diri maka dia harus menolongnya terlebih dahulu. Maka Hui Neng berkata dan Zhang Ri Yong menulisnya:
菩提本無樹。明鏡亦非臺。Pú tí běn wú shù míng jìng yì fēi tái
本來無一物。何處惹塵埃。Běn lái wú yī wù hé chù rě chén āi
Nb : gatha tersebut berbunyi: bodhi pada awalnya tidak berpohon, cermin yang terang juga tidak berbingkai, sesungguhnya tidak ada apapun , maka darimana bisa terkotori oleh debu.
Sebuah hal yang mengejutkan
Saat itu semua murid Hong Ren terkaget melihat gatha tersebut, sungguh benar-benar Bodhisattva yang hidup didunia, benar-benar tidak boleh melihat orang hanya dari penampilan, ibarat laut juga tidak bisa diukur hanya dari gelombangnya saja. Berita tersebut terdengar sampai telinga master Hong Ren, maka sang guru segera keluar melihat gatha tersebut, kemudian dengan menggunakan sepatunya beliau segera menghapus tulisan gatha yang masih basah tersebut.
“Tidak tercerahkan, cepat hapus!!!”
9. MENDAPATKAN PENCERAHAN
Hari berikutnya, master Hong Ren diam-diam berjalan ke penggilingan beras tempat Hui Neng bekerja yang dengan mengikat sebongkah batu ditubuhnya, agar dapat menggiling beras dengan berat yang agar dengan mudah menghancurkannya menjadi tepung , guru melihat dan tertawa:
“Seorang yang belajar dharma juga harus demikian…” Kemudian berkata: ”Apakah berasmu sudah matang ??”
Hui Neng menjawab: ”Sudah lama matang , hanya saja belum pernah disaring.” Master Hong Ren mendengar jawabannya yang benar, kemudian mengetuk tanah dengan tongkat Xi Zhang nya sebanyak 3 kali, dan pergi meninggalkan Hui Neng.
Hui Neng akhirnya mendapat bimbingan dari sang guru, pada saat malam hari pukul 3 pagi, diam-diam berjalan menuju aula gurunya. Master Hong Ren khawatir orang lain melihat maka segera menutupi lubang jendela dengan jubahnya. Kemudian master Hong Ren membabarkan Sutra Intan (Cin Kang Cing) kepada Hui Neng seorang diri, dan sampai pada kata “應無所住而生其心 yìng wú suǒ zhù ér shēng qí xīn” Kemudian mencapai pencerahan dan menyadari bahwa segala sesuatu kondisi dharma tidak terlepas dari sifat kebuddhaan yang dimiliki oleh dirinya sendiri.
10. MENERIMA JUBAH ZEN
Hui Neng setelah mencapai pencerahan kemudian berkata kepada master Hong Ren: ”Tidak pernah terpikirkan sifat kebuddhaan yang semua orang miliki, sebenarnya bersih murni, sebenarnya tidak tumbuh dan hancur, sesungguhnya dimiliki oleh semua orang masing-masing, sebenarnya tidak tergoyahkan; dan mampu menghasilkan berjuta kondisi dharma kebenaran.”
Master Hong Ren setelah mendengar kata – kata Hui Neng kemudian menyadari bahwa Hui Neng telah tercerahkan oleh sifat diri / kebuddhaannya, kemudian berkata: ”Orang yang tidak mengetahui sifat kebuddhaan dalam dirinya, meskipun belajar dharma tetap tidak ada manfaatnya, jika mampu mengenalinya maka dia adalah seorang manusia agung, guru para dewa dan manusia! Dengan Buddha tidak ada bedanya…” Maka pada malam itu juga pukul 3 pagi saat semua orang tidak sadar dan tidak mengetahui, master Hong Ren mewariskan ajaran pencerahan sesaat (頓悟的教法) kemudian memberikan jubah zen kepadanya,: ”Kamu telah menjadi guru besar ke-6 zen, jagalah dengan baik semua ini; selamatkan semua makhluk diseluruh penjuru, sebarkan ajaran ini dan jangan sampai berhenti dan hancur.”
Setelah berkata dan menyerahkan jubah dan patra , kemudian berkata :
有情來下種 因地果還生
無情亦無種 無性亦無生
Nb : makhluk hidup datang untuk menanam benih (karma), karena adanya tanah (kesadaran) maka akan menumbuhkan buah, sesungguhnya tidak ada kehidupan juga tidak ada benih, juga tidak ada sifat kebuddhaan dan kehidupan.
11. MENOLONG DIRI SENDIRI
Master Hong Ren berkata: ”Dahulu leluhur bodhidharma saat pertama kali datang ketanah ini (Tiong Kok) tidak seorangpun percaya dengan apa yang dia katakan, maka hanya dengan jubah inilah yang menjadi barang bukti untuk kemudian diwariskan turun temurun. Makna sesungguhnya adalah dharma yang diwariskan dari hati ke hati, semuanya harus dicapai oleh diri sendiri kemudian mengembangkannya. Sejak zaman para Buddha yang lampau, para guru mewariskan ajaran dharma melalui hati. Jubah hanya akan menimbulkan perselisihan saja, sampai pada giliranmu jangan lagi diwariskan karena akan menimbulkan perselisihan dan perebutan dharma, dharma dan ajaranku juga tidak pasti dapat dipertahankan. Sekarang cepatlah kamu pergi! Terlalu lama disini bisa membuatmu celaka!”
Hui Neng mendengar nasehat guru masih saja diliputi keraguan kemana dia harus pergi, master Hong Ren memberitahunya: ”Berhentilah dimana kamu dibutuhkan, karena dengan adanya pertemuan itu sebenarnya adalah sebuah jodoh yang masih terpendam.” Pukul 3 pagi master Hong Ren mengantar Hui Neng sampai di pinggir sungai Jiu Jiang Yi (九江驛) master Hong Ren hendak mengantar Hui Neng: ”Seharusnya saya yang harus menyebrangkanmu..” Hui Neng berkata: ”Saat tersesat guru yang menyeberangkan ku, saat ini sudah tercerahkan saya akan menyeberang sendiri!” Meskipun Hui Neng adalah seorang yang lahir didaerah pinggiran namun setelah mendapatkan bimbingan dari sang guru kini mampu mencapai pencerahan dharma, maka setiap kali guru bertanya dia selalu menjawab dengan jawaban yang tepat dan tegas. Master Hong Ren mendengar jawaban Hui Neng kemudian berkata sebagai bentuk pengakuan pencerahannya: ”Sadhu.. Sadhu.. Sadhu! Kelak Buddha dharma akan menjadi besar dibawah ajaranmu! Sekarang pergilah keselatan jika waktunya belum sampai, jangan pernah memberikan dharma ini kepada siapapun, kalau tidak Buddha dharma akan sukar tumbuh.” Maka Hui Neng menaiki kapal dan mendayung kearah selatan, dua bulan kemudian baru mencapai daerah Yǔ Lǐng (庾嶺)
12. PARA MURID YANG TERKEJUT
Setelah mengantarkan Hui Neng , master Hong Ren kembali ke vihara, namun selama beberapa hari tidak pernah keluar memberika wejangan dharma. Semua murid merasa kuatir dan curiga kemudian bertanya:
”Guru apakah sehat – sehat saja?”
“tTdak ada penyakit apapun , dharmaku telah berjalan keselatan.”
“Siapakah yang mendapatkan jubah dharma?”
“Dia yang mampu yang mendapatkannya.”
Demikian tanya jawab singkat antara guru dan murid. Kemudian hal yang aneh sang barbar (Hui Neng) yang mengurusi padi juga tidak ada ditempatnya lagi. Maka gosip pun mulai menyebar, semua beranggapan master ke-5 telah tua dan pikun sehingga menyerahkan jubah dan patra zen kepada Hui Neng, seorang barbar yang tidak jelas asal-usulnya.
13. PEREBUTAN JUBAH
Banyak murid Hong Ren yang berperasaan sama yaitu ingin merebut kembali jubah dan patra zen, diantaranya adalah seorang yang bernama asli Chen Hui Ming (陳惠明) yang pada kehidupan awamnya adalah seorang prajurit, karena masih belum lama hidup sebagai seorang viharawan maka sifatnya yang ceroboh dan tidak sopan masih tetap besar, dialah orang yang menemukan Hui Neng. Melihat ada seorang pertapa viharawan yang membuntuti maka dia segera meletakkan jubah dan patra tersebut diatas batu yang berada dipinggir jalan, kemudian dia sendiri lalu bersembunyi dibawah semak belukar.
Hui Ming merasa sangat bahagia karena berhasil menemukan jubah dan patra itu, maka dengan dua tangannya segera mengambil jubah dan patra tersebut, namun terjadi sesuatu yang aneh jubah dan patra yang sangat ringan tadi kemudian berubah menjadi sangat berat, jangankan untuk dibawa pergi mengangkatnya saja tidak bisa bergerak sedikitpun. Pada saat itu Hui Ming merasa takut dan bertobat atas kelakuannya, kemudian berteriak:
“Pengembara! Pengembara! Saya hanya datang untuk belajar dharma, sama sekali bukan untuk merebut jubah dan patra ini…. Kemarilah!”
Kemudian Hui Neng segera keluar dari dalam semak dan menampakkan dirinya, dia kemudian duduk bersila diatas sebongkah batu, Hui Ming segera memberi hormat, Hui Neng berkata :
“Karena kamu datang hanya untuk memohon bimbingan dharma maka aku akan memberikannya untukmu, diam dan tenangkan dirimu jangan pikirkan sesuatu yang ada diluar!” Setelah Hui Ming menenangkan dirinya, kemudian Hui Neng baru berkata:
“Tidak berpikir baik! Tidak berpikir jahat! Pada saat itulah keadaan asli yang paling sempurna.” Saat selesai berkata Hui Ming kemudian mendapatkan pencerahan, kemudian memohon bimbingan dan bertanya:
“Selain diatas rahasia ucapan dan pikiran apakah masih ada yang lebih susah diungkap?”
“Seperti yang kamu katakan sesungguhnya tidak ada sesuatu yang rahasia karena jika kamu kembali melihat kondisi dalam diri sesungguhnya semua hanya ada didalam dirimu.”
Hui Ming setelah mendengar kata-kata dari Hui Neng kemudian berkata :
“Meskipun aku telah belajar dibawah bimbingan master Hong Ren untuk sekian lamanya namun belum juga mendapatkan pencerahan dan pengetahuan yang sesungguhnya, saat ini mendengar penjelasan darimu seperti baru saja meminum air yang sejuk, pengembara (Hui Neng) andalah guruku sekarang ini!”
“Jika demikian, aku denganmu adalah satu perguruan yaitu master Hong Ren, maka sudah selayaknya kita sendiri yang menjaga pelatihan diri kita yang benar, jangan membiarkannya mundur!”
“Kemanakah saya harus pergi?” Hui Ming memohon petunjuk dari Hui Neng.
“Berjalanlah sampai daerah Jiang Xi Yuan Zhou (江西袁州府), dan menetaplah di Meng Mountain (蒙山)” Maka Hui Ming segera berpamitan dengan Hui Neng. Sampai diatas gunung saat bertemu dengan teman – temannya dia berkata:
“Aku telah mencari sampai ditengah hutan, namun juga tidak dapat menemukannya!” Semua orang juga demikian, untuk menghindari kesamaan nama dengan Hui Neng maka Hui Ming kemudian mengubah namanya menjadi Dao Ming (道明)

KISAH KEHIDUPAN MASTER HUI NENG (BAGIAN 1)

Cetya Tathagata akan memberikan kisah riwayat dari Master Zen Hui Neng yang akan terbagi menjadi 3 bagian artikel.
Dajian Hui Neng (Hanzi tradisional : 大 鉴 惠 能; Hanyu Pinyin: Dàjiàn Huì Néng; Bahasa Jepang: Eno Daikan; Bahasa Korea: Hyeneung, 638-713) adalah seorang Cina monastic Zen (Chan) yang merupakan salah satu tokoh paling penting dalam seluruh tradisi. Huineng adalah Patriark Ke-6 dan Terakhir dalam tradisi Buddhisme Zen.
Dia dikatakan telah menyarankan pendekatan langsung kepada praktik Buddhis dan pencerahan, dan dalam hal ini, dianggap sebagai pendiri "Pencerahan Seketika” (Sudden Enlightenment ; (顿 教) ) Sekolah Buddhisme Zen Selatan. Siswa-siswa utamanya adalah Nanyue Huairang, Qingyuan Xingsi, Nanyang Huizhong, Yongia Xuanjue dan Heze Shenhui.
KISAH KEHIDUPAN MASTER HUI NENG (BAGIAN 1)
1. KELAHIRAN MASTER HUI NENG
Kisah tersebut terjadi pada masa dinasti Tang (唐朝), ayahnya bermarga Lu (盧) bernama xing tao (行瑫), ibunya bermarga Li (李). Kedua orang tuanya adalah keturunan pejabat didaerah Fan Yang (范陽) yang sekarang lebih dikenal sebagai kabupaten Xin Xing didaerah He Bei (今河北省宛平縣), namun karena sang ayah diturunkan jabatannya pada masa itu maka mereka kemudian pindah kedaerah Ling Nan (嶺南) yang saat ini dikenal sebagai kabupaten XIn Xing daerah Guang Dong (今廣東省新興縣).
Suatu hari sang istri bermimpi melihat bunga yang tumbuh dihalaman depan rumahnya tiba-tiba mekar, dua ekor burung merpati putih terbang bersama, aroma wangi terasa meyelimuti seluruh isi rumahnya kemudian dia merasakan bahwa dia telah mengandung. Kemudian setelah hari tersebut dia tekun menjalankan sila, dan setelah mengandung sang anak selama 6 tahun, akhirnya pada tahun 638 bulan 2 hari ke 8 lahirlah seorang anak laki-laki.
Pada waktu itu datanglah dua orang bhiksu yang misterius mengunjungi sang bayi :”Selamat tuan Lu istri anda telah melahirkan seorang anak laki-laki. Kami datang hanya untuk memberikan ucapan selamat, dan hendak memberikan nama kepada sang bayi”. Pemilik rumah bertanya siapa nama anaknya: ”Huì Néng (惠能)”. Kemudian Lu Xing Tao bertanya apa arti dari nama itu, bhiksu menjelaskan: ”Hui berarti suatu saat dengan dharma yang agung akan menolong semua makhluk; Neng berarti mampu mengajarkan Dharma kepada siapapun”. Setelah selesai berkata kedua bhiksu tersebut tiba-tiba menghilang. Hal ini tentu membuat Tuan Lu dan istrinya kaget dan merasakan hal yang aneh.
Maka dari itu bayi tersebut kemudian diberinama Hui Neng (惠能) yang kemudian selanjutnya beliau adalah generasi ke-5 zen dari Tanah Timur (東土) atau Tiong Kok .
2. MENDENGAR SUTRA INTAN
Setelah kelahirannya, master Hui Neng tidak pernah meminum susu ibunya karena setiap malam hari ada dewa yang datang memberinya air suci amerta (甘露水), sehingga selama masa kecil dia tetap sehat seperti anak – anak pada umumnya. Namun, sangat menyedihkan saat berusia 3 tahun sang ayah meninggal, akhirnya bersama sang ibu dia pindah tempat tinggal kedaerah Nan Hai (今廣東省南海縣).
Hui Neng saat mulai beranjak dewasa bekerja sendiri dengan menjual kayu bakar dari hutan untuk menghidupi kehidupannya bersama sang ibu. Setiap hari mencari kayu bakar kemudian mengantarkannya kepada para pembeli dirumahnya masing-masing.
Suatu hari sesudah selesai menjual kayu bakar dan hendak pulang tiba-tiba dia mendengar seorang pelanggan lain dengan suara keras membacakan sutra Intan (金剛經) meskipun tidak mengerti dengan jelas sutra apa yang dibacakan oleh orang tersebut karena sejak kecil dia tidak pernah menerima pelajaran sekolah namun beliau merasakan seperti ada sesuatu yang tercerahkan dalam dirinya. Maka dengan sangat hormat bertanya kepada orang tersebut :
“Tuan, sutra apakah yang tadi anda bacakan?” pelanggan tersebut memberitahunya :
”Vajracideka prajna paramitha sutra (金剛般若波羅蜜經)! ” Hui Neng kembali bertanya:
”Darimanakah anda mendapatkan sutra tersebut?”
Sang pelanggan menjelaskan :
“Saya mengetahui sutra ini atas bimbingan dari master zen ke-5 ven. Hong Ren (禪宗五祖弘忍大師), beliau tinggal diDong Chan Monastery, daerah Qi Zhou (蘄州黃梅縣東禪寺). Disana master hong ren mempunyai ribuah murid , beliau selalu mengajarkan kepada para murid agar selalu membaca dan merenungkan sutra ini , karena manfaat nya sangat besar yaitu mampu menghancurkan kebodohan batin kemudian mampu memperlihatkan sifat asli (kebuddhaan) Kita, sehingga mampu menjadi Buddha!”
3. MENINGGALKAN IBU MENCARI KEBENARAN
Mendengar penjelasan dari sang pelanggan, Hui Neng merasa sangat bahagia dan berkeinginan untuk menjadi seorang bhiksu dibawah bimbingan master Hong Ren. Namun, ibu yang sudah tua menjadi masalah besar yang harus dia selesaikan terlebih dahulu, bagaimana dengan kehidupan sang ibu dikemudian hari?
Mungkin inilah yang disebut karma baik yang berbuah, pada waktu itu pelanggan lain mengetahui Hui Neng berkeinginan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi bhiksu maka timbul rasa simpati terhadap Hui Neng. Dan atas bantuan beberapa uang perak dari pelanggan ini akhirnya Hui Neng dapat menyelesaikan masalah yang melilitnya akan kondisi sang ibu dimasa mendatang. Pelanggan tersebut juga bersedia membantu menjaga ibu Hui Neng.
Ternyata sang ibu juga sedikitpun tidak menolak maksud hati dari Hui Neng karena dia mengetahui bahwa anaknya memang berjodoh dengan Buddha . setelah berpamitan dengan sang ibu, Hui Neng kemudian berjalan kearah Huang Mei. Dia berjalan selama lebih dari 30 hari, akhirnya sampai ditempat tujuan, Dong Chan Monastery.
4. MENGHADAP MASTER KE - 5
Sesampainya di Huang Mei, Hui neng dapat dengan mudah menemukan Dong Chan monastery, dan segera menghadap master ke-5. Selesai menghormat master ke-5 bertanya: ”Darimana asalmu? Dan apa yang kamu inginkan disini?”
“Saya adalah seorang penduduk dari daerah Ling Nan, datang menghadap guru hanya untuk menjadi Buddha, tidak untuk yang lain”. Hui neng menjawab.
“Oh, kamu adalah seorang penduduk dari daerah Ling Nan, berarti adalah seorang dari suku barbar selatan, bagaimana bisa menjadi Buddha?”. Master ke-5 dengan sengaja menguji Hui Neng (pada masa itu suku barbar adalah suku minoritas yang direndahkan maka master hong ren berniat menguji Hui Neng).
“Meskipun manusia dibedakan antara utara dan selatan, namun benih kebuddhaan apakah mungkin juga dibedakan? Meskipun tubuh suku barbar ini berbeda dengan guru, namun benih kebuddhaan apakah juga dibedakan?”. Jawaban Hui neng sangat deras dan tajam. Saat Master ke-5 mendengarnya beliau mengetahui kebijaksanaan Hui Neng memang sangat dalam dan dia adalah orang yang memiliki bakat. Sebenarnya ingin mengujinya lagi dengan beberapa pertanyaan namun beliau khawatir hal itu akan terlalu menunjukkan kelebihan Hui Neng sehingga membuat murid yang lain menjadi iri padanya. Maka beliau memerintahkan Hui Neng untuk bekerja bersama dengan murid yang lain.
“Murid mohon bimbingan dari guru! Hati saya kadang tumbuh kebijaksaan, jika saja tidak meninggalkan sifat asli / kebuddhaan, maka itulah ladang kebajikan, murid tidak mengerti guru memerintahkan apa yang harus saya lakukan?”. Tingkat pencerahan Hui Neng sangatlah tinggi, kata kata tersebut mempunyai makna yang sangat dalam, yang berarti sifat asli / kebuddhaan setiap orang sebenarnya bersih murni dan bercahaya, jika saja tidak meninggalkan sifat kebuddhaan, maka itulah ladang kebajikan yang tiada taranya.
Didalam hati master ke-5 sangat memuji Hui Neng setelah mendengar kata-kata tersebut, karena takut Hui Neng menemui masalah karena ada orang yang iri padanya maka dia berbisik: ”Kamu jangan terlalu banyak bicara! Cepatlah pergi bekerja kebelakang Vihara”. Hui Neng kemudian bekerja dibelakang vihara sebagai pemotong kayu dan penggiling padi.
5. MEMBELAH KAYU DAN MENGGILING PADI
Hui Neng bekerja tanpa lelah di belakang vihara selama lebih dari 8 bulan. Setiap hari hanya membelah kayu dan menumbuk padi. Namun semua itu dilakukan dengan hati tulus tanpa perasaan lelah dan benci.
Suatu hari master Hong Ren mengunjungi Hui Neng di kebun belakang vihara, kemudian berkata kepadanya: ”Saat pertama kali melihatmu, saya sudah tau sampai dimana tingkat pencerahan dan pengertian yang kamu miliki, sungguh berbeda dengan orang lain. Karena takut akan ada orang yang iri dan mencelakaimu maka saya tidak terlalu banyak berbicara denganmu. Saya tidak tau apakah kamu menyadarinya?”
Hui Neng menjawab: ”Mengerti guru, saya juga memahami maksud baik dari guru maka sampai hari ini belum pernah berjalan sampai kedepan vihara. Setiap hari hanya bersembunyi setelah menyelesaikan tugas tanpa pernah memperlihatkan diri agar tidak ada omongan jelek.”
Pada hari berikutnya master ke-5 mengumpulkan semua muridnya dialtar leluhur.
6. BERLKUMPULNYA PARA MURID
Master Hong Ren mengumumkan: ”Kehidupan samsara, hanya kematianlah yang menjadi masalah terbesar! Kalian semua jika dalam kehidupan ini hanya melatih karma baik untuk mendapatkan berkah tanpa pernah berlatih untuk menjadi yang sempurna maka selamanya tidak akan terselamatkan! Diri sendiri tidak pernah berlatih agar dapat terlepas dari samsara. Harus menyadari jika diri sendiri masih tersesat didunia, bagaimana bisa mendapatkan ladang karma baik yang tak terhingga? Sekarang saya perintahkan kalian semua setiap orang untuk kembali kekamar masing-masing, renungkanlah sampai dimana kebijaksanaan yang telah kalian miliki. Kemudian setelah itu buatlah sebuah gatha pencerahan yang menjadi bukti hasil pelatihan diri kalian semua. Jangan berpikir panjang karena tidak ada waktu lagi. Jika pencerahan sudah dimiliki maka dari gatha yang dibuat akan telihat, dan jika memang telah menunjukkan pencerahan maka aku akan mewariskan jubah dan patra zen kepadanya yang kemudian sebagai penerus zen ke-6!”
Setelah mendengar kata-kata dari sang guru semua orang menjadi ragu: “Orang seperti kita ini bagaimana bisa membuat gatha pencerahan seperti itu, meskipun diperbolehkan untuk berpikir panjangpun tetap saja tidak mampu membuat gatha yang sedemikian. Hanya membuang waktu saja apa untungnya? Senior Shen Xiu (神秀) adalah seorang guru yang mengajar divihara ini, selain beliau masih ada siapa lagi yang mungkin mewarisi jubah?”. Saat mendengar kata-kata yang demikian pesimis semua orang menjadi terbius karena nya dan satupun tidak ada yang membuat gatha.
Sedangkan senior Sen Xiu saat melihat semua orang yang demikian pesimis diapun berpikir: "Mereka semua menganggapku sebagai senior dan contoh mereka, sehingga tidak seorangpun yang berniat membuat gatha. Namun aku harus tetap menulis gatha agar guru dapat menilai sampai dimana tingkat pencerahanku. Semua ini bukan karena serakah akan gelar master zen ke-6 namun sebagai bentuk hasil pelarihan diriku agar guru bisa meniai dan mengakui pencerahan yang telah aku miliki. Jika hanya berpikir untuk jubah dan patra saja maka aku tidak berbeda dengan orang biasa.
7. SHEN XIU MENULIS GATHA
Didepan aula leluhur ke-5 terdapat tiga buah jalan masuk, yang masing-masing akan dibuat sebuah silsilah penurunan zen dan gambar-gambar penjelasan tentang sutra lankavatara (楞伽經).
Shen Xiu telah selesai membuat gatha pencerahan namun karena tidak yakin akan pelatihan yang telah dia lakukan, maka hatinya selalu bimbang. Shen Xiu sebenarnya ingin menyerahkan gatha tersebut agar sang guru dapat melihat namun niatnya terus gagal karena tidak adanya kepercayaan diri bahkan sudah sampai 13 kali keluar masuk aula sang guru tetap saja belum mampu menyerahkannya.
Shen Xiu berfikir: ”Lebih baik aku tulis saja ditembok aula guru, saat guru keluar aula maka dia akan melihatnya, dan pasti akan memuji jika gatha tersebut sudah tercerahkan. Namun jika memang belum tercerahkan biarkanlah hilang dengan sendirinya, dan aku hanya bisa merendahkan diri sendiri yang belajar tidak sungguh-sungguh, bertahun-tahun dipuja banyak orang namun juga tidak tercerahkan, apa gunanya melatih diri?”.
Maka pada malam tersebut pukul 3 pagi Shen Xiu dengan tangan kiri membawa lampion, tangan kanan membawa kuas, dan akhirnya menulis gatha tersebut di dinding:
身是菩提樹。心如明鏡臺。 Shēn shì pú tí shù xīn rú míng jìng tái
時時勤拂拭。勿使惹塵埃。 shí shí qín fú shì wù shǐ rě chén āi
Nb :
Gatha berbunyi: Tubuh adalah pohon bodhi, hati bagaikan bingkai cermin yang jernih. Jika rajin membersihkannya maka tidak akan ada debu yang melekat.
Belum dapat melihat sifat asli kebuddhaan
Setelah menulis gatha di dinding Shen Xiu kemudian kembali kekamar tidurnya, siapapun tidak mengetahui apa yang telah dilakukannya. Shen Xiu berpikir: ”Besok saat guru melihat gatha ku beliau pasti akan memujinya, yang berarti aku berjodoh dengan Buddha. Namun jika tidak maka aku hanya bisa menyesali dan menerima karma buruk yang begitu berat sehingga tidak mampu memperoleh pencerahan. Bagaimanapun juga dharma sejati memang susah diperkirakan!”
Shen Xiu tetap saja bimbang dan gelisah, berpikir kesana kemari, tidur dan duduk tidak tenang. Sampai pukul 5 pagi master Hong Ren sudah mengetahui Shen Xiu belum mencapai pencerahan dan melihat dasar sifat alami Buddha. Pagi hari, saat bhiksu pelayan mengantarkan seorang umat yang hendak membuat tulisan di dinding tersebut mereka secara tidak sengaja melihat tulisan tersebut. Maka gambar tulisan Sutra Intan yang berbunyi: “凡所有相,皆是虛妄!” dibatalkan penulisannya oleh sang guru.
Master Hong Ren juga menasehati para murid agar selalu melafalkan gatha tersebut: ”Jika berlatih seperti gatha ini maka akan terhindar dari alam sengsara. Jika berlatih seperti gatha tersebut maka akan mendapatkan karma baik yang besar.” Beliau juga memerintahkan para murid untuk menghormat dan membakar dupa dibawah gatha tersebut jika dengan keyakinan diikuti dengan pelatihan diri yang benar berdasarkan gatha tersebut maka akan dapat melihat sifat kebuddhaan didalam diri.
Semua orang melafal dan memuji gatha tersebut. Sesepuh ke-5 saat pagi hari pukul 5 memanggil Shen Xiu keaulanya dan bertanya apakah dia yang menulis gatha tersebut. Shen Xiu akhirnya mengakui dirinyalah yang membuat dan menulis gatha tersebut, namun dia tidak bermaksud membuatnya hanya untuk mendapatkan gelar master Zen, hanya berharap sang guru bersedia melihat apakah dia mempunyai kebijaksanaan yang kecil sekalipun. Master memberitahunya: "Gatha tersebut belum mampu mencapai dasar kebuddhaan, dan hanya mencapai pintu gerbang saja, jika ingin melatih jalan kebodhian yang tiada taranya masih belum dapat sampai pada tujuan." Maka guru memerintahkannya untuk membuat ulang sebuah gatha lagi jika mempu memasuki pintu pelatihan diri yang tanpa batas maka guru akan mewariskan jubah kepadanya.
*Bersambung ke bagian ke 2*

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG TRADISI / PUJA BAKTI DALAM AGAMA BUDDHA

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG TRADISI / PUJA BAKTI DALAM AGAMA BUDDHA
Perlu dipahami dan dimengerti bahwa agama Buddha bukan semata-mata hanya mensampingkan tradisi akan tetapi dibalik tradisi itu kita bisa memaknai secara pemahaman Dhamma yang benar. Sebagian masyarakat menganggap agama Buddha anti tradisi, padahal tidak demikian. Adasuatu tradisi yang bisa kita ambil karena selaras dengan Dhamma (kebenaran) dan tradisi sesungguhnya tidak bisa dihapus ataupun dilenyapkan. Dengan demikian, pandangan agama Buddha mengenai tradisi sesungguhnya bisa memilah dan memilih, mana yang tradisi yang sesui dengan Dhamma ataupun mana tradisi yang tidak sesuai dengan Dhamma. Namun sang Buddha menganjurkan untuk mengambil atau mengabdosi tradisi yang sesuangan dengan Dhamma. Salah satu yang perlu diuraikan adalah Puja bakti. Cetya Tathagata akan memberikan artikel mengenai macam - macam Puja pada Agama Buddha pada artikel ini.
Puja Bakti adalah suatu tradisi umat Buddha, dengan kata lain puja bakti ini adalah suatu penghormatan. Dalam agama Buddha, penghormatan ada dua macam, yaitu:
1. Amisa Puja yaitu penghormatan dengan "materi / barang".
2. Patipati puja, yaitu puja dengan cara mempraktikkan Dhamma.
BAGIAN 1 - AMISA PUJA
Amisa Puja yaitu penghormatan dengan "materi / barang". Penghormatan dengan cara Amisa Puja merupakan suatu tindakan yang bersifat "nampak" dalam hal ini adalah:
A. Puja dalam bentuk Buddha Rupang. Penghormatan dalam hal ini adalah bagaimana kita meneladani sifat-sifat dari keluhuran sang Buddha. Ada 9 macam keluhuran dari seorang Sammasambuddha, yaitu:
1. Arahaṁ: murni sempurna dari kotoran, sehingga tidak berbekas, bahkan yang samar-samar sekalipun, yang dapat menunjukkan keberadaannya; Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kejahatan, bahkan pada saat tidak ada seorang pun yang mengetahui; Telah mematahkan jeruji lingkaran kelahiran; Layak dihormati oleh semua makhluk di tiga alam, manusia, dewa dan brahmà.
2. Sammàsambuddho, Telah mencapai Pencerahan Sempurna, dalam arti Beliau benar-benar memahami Dhamma oleh kecerdasan dan Pandangan Cerah dan mampu menjelaskannya kepada makhluk-makhluk lain.
3. Vijjàcaraõasampanno, Memiliki tiga pengetahuan, yaitu, Pengetahuan tentang kehidupan lampau semua makhluk, mata-dewa, dan padamnya semua noda moral, yang mana pengetahuan ini terdiri dari delapan pengetahuan beserta praktik moralitas yang sempurna yang dijelaskan dalam lima belas cara.
4. Sugato, Karena Buddha mencapai Nibbàna melalui Empat Magga ¥àõa, karena Buddha hanya mengatakan hal-hal yang benar dan bermanfaat.
5. Loka viddhu, Karena Beliau mengetahui kondisi-kondisi yang muncul dalam diri semua makhluk, penyebab kelahiran mereka dalam berbagai alam kehidupan, dan fenomena jasmani dan batin yang berkondisi.
6. Anuttaropurisadammasàrathi, Karena Beliau tidak ada bandingnya dalam hal menjinakkan mereka yang layak dijinakkan.
7. Satthàdevamanussànaṁ, Karena Beliau adalah guru para dewa dan manusia, yang menunjukkan Jalan menuju Nibbàna kepada para dewa dan manusia.
8. Buddha, Karena Beliau telah mencapai Pencerahan Sempurna, mengetahui dan mengajarkan Empat Kebenaran Mulia.
9. Bhagavà, Karena Beliau memiliki enam kualitas mulia, yaitu, keagungan (issariya), pengetahuan akan sembilan faktor spiritual, yaitu Magga-Phala Nibbàna (Dhamma), kemasyhuran dan pengikut (yasa), keagungan kesempurnaan fisik (sirã), kekuasaan dan prestasi (kàmma), dan ketekunan (payatta).
Sembilan sifat kebuddhaan ini harus dijalankan dengan penuh kasih sehingga akan bermanfaat demi kebahagiaan diri sendiri dan makhluk lain.
B. Puja dalam bentuk Bunga
Pengormatan dalam bentuk bunga akan mencermin kehidupan ini liputi oleh siklus perubahan (anicca). Dalam kehidupan sehari-hari secara langsung kehidupan kita bahkan tubuh jasmani ini akan mengalami suatu kondisi yang tidak kekal. Dari sejak kandungan, ketika lahir, masih bayi, remaja, dewasa hingga tua dan mengalami kematian. Dengan demikian siklus kehidupan akan trus berputar jikalau kita belum mencapai kesucian. Dengan mempraktikkan Jalan mulia berunsur delapan dengan penuh kesabaran, keuletan tanpa ada rasa malas maka kebebasan akan bisa dicapai. Maka sang Buddha menyatakan di dalam Dhammapada, Magga vagga, syair 273, Buddha menyakan “satu-satunya jalan untuk mencapai kebebasan adan dengan mempraaktikan jalan mulia berunsur delapan”.
C. Puja dalam bentuk lilin/pelita
Penghormatan dalam hal ini merupakan suatu gambaran akan menuju penerangan. Dalam hal ini, Buddha menunjukkan jalan untuk menuju pencerahan tatapi bagaimana dengan kita sekarang. Karena beliau hanya membuka dan menunjukkan saja akan tetapi kitalah yang harus berusaha dan bersemangat dalam mencapai suatu pencerahan.
D. Puja dalam bentuk buah-buahan
Sesuai dengan Buddha ajarankan bahwa hukum karma tetap berlaku dimana-mana dan kapanpun sehingga segala bentuk perbuatan yang dasari dengan niat, baik melalui pikiran, perkataan, dan tindakan tentu akan membuahkan hasil (vipaka). Jadi, kita jangan menganggap hal itu bersifat pesimis.
BAGIAN 2 - PATIPATI PUJA
Patipati puja, yaitu puja dengan cara mempraktikkan Dhamma. Dhamma sang Buddha sangat universal, tidak memandang ras, suku, agama, atau kebudayaan tatapi Dhamma bisa dipraktikkan oleh siapa saja. Jadi Buddha tidak menyaran kepada umatnya hanya Dhamma dijadikan sebagai teoretis belaka akan tetapi jadikanlah Dhamma itu sebagai pegangan hidup demi membebaskan diri dari samsara.
Pada dasarnya, teori dan praktek itu sama-sama pentingnya. Oleh karena itu, seseorang tidak seharusnya mengutamakan yang satu dengan mengesampingkan, mengabaikan atau bahkan mencampakkan yang lain. Dengan perkataan lain, teori atau praktek hendaknya tidak dinomorsatukan atau dinomorduakan, tetapi hendaknya sama-sama diberi perhatian yang seimbang. Teori dapatlah diibaratkan sebagai peta yang menunjukkan liku-liku serta seluk-beluk jalan yang harus ditempuh agar mencapai tempat tujuan dengan selamat; sedangkan praktek adalah upaya dalam menempuh jalan sebagaimana yang ditunjukkan dalam peta tersebut. Sebuah peta tidak mungkin dapat mengantar seseorang sampai ke tempat tujuan hanya dengan dipegangi, dilekati, dikagumi ataupun dipuja-puja. Akan tetapi, bersikap nekad dengan menempuh perjalanan ke suatu tempat yang masih asing [belum pernah didatangi] tanpa pedoman sebuah peta, mengandung risiko yang sangat berat –bukan hanya akan tersesat tapi bahkan bisa terjerumus ke dalam jurang hingga sukar untuk dapat kembali ke jalur yang benar. Parabhikkhu yang hanya berpegang pada praktek cenderung mengerti ajaran Sang Buddha berdasarkan pengalaman pribadi atau/dan pandangan subjektif. Kalau disanggah berdasarkan kebenaran yang sesungguhnya, mereka akan berkilah “Ah . . . , teorinya sih memang begitu, tapi prakteknya tidak demikian. Teori khan berbeda dengan praktek. Karena itu, praktek tidaklah dapat dan tidaklah boleh diperbandingkan atau dicocokkan dengan teori.” Kilahan demikian ini tentu sangatlah salah. Teori dirumuskan oleh Sang Buddha berdasarkan praktek, pengalaman, pencapaian, kebenaran dan kenyataan sesungguhnya. Karena itu, suatu teori pastilah selaras atau seiring dengan praktek. Jika suatu teori bertentangan dengan praktek, maka hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini: kalau bukan teorinya yang salah –bukan sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha–, yah prakteknya yang salah. Sebaliknya, para bhikkhu yang hanya menekuni teori cenderung mengerti ajaran Sang Buddha berdasarkan penafsiran pribadi atau/dan ungkapan harfiah. Dengan begitu, mereka tentunya tidak dapat mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa tidak ada pencapaian kesucian dan Pembebasan Sejati yang dapat diraih hanya dengan mengandalkan teori, tanpa praktek sebagai tindak-lanjutan. Sebaliknya, amatlah sia-sia jika menjalankan praktek yang dianggap sudah benar tetapi ternyata bukan suatu cara praktek sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Sang Buddha sebagai teori. Untuk dapat benar-benar memperoleh hasil yang nyata dan pesat, seseorang haruslah bersikap arif dalam memadukan teori dan praktek.
Sebagai kesimpulan bahwa agama Buddha melihat suatu tradisi itu salah dan tidak bermanfaat akan tetapi ada suatu tradisi yang baik dan menunjang dalam pengembangan spiritual pribadi masing-masing seperti yang telah diuraikan. Jadi tradisi puja bakti merupakan salah satu tradis yang baik dari berbagai macam tradisi yang lainnya. Jika ini dilakukan dengan sungguh maka akan membawa manfaat dan kesejahteraan diri sendiri maupun makhluk lain. Disarankan kepada pembaca hendaknya tradisi yang baik perlu dilestarikan dan praktikkan sehingga kebahagiaan akan tercapai.
Referensi:
- Tipitakadhara Mingun Sayadaw. 2008. Riwayat Agung Para Buddha. Tanggerang: Ehipassiko Foundation & Giri Maṁgala Publications
- Pandita sasanadhaja, surya widya. 2005. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Dhammadipa, Ārāma
- Jan Sanjivaputta. 1990. Mangala: Berkah Utama (Jilid Pertama. Tanpa kota: Lembaga Pelestari Dhamma

Mengenai Sigalovada Sutta

Mengenai Sigalovada Sutta
Sigalovada Sutta adalah Sutta yang berisikan tentang wejangan Sang Buddha kepada Sigala, putra keluarga Buddhis yang berdiam di Rajagaha. Sigalovada Sutta berisikan bagaimana Sang Buddha menaruh perhatian dan penghargaan besar terhadap penghidupan para upasakha dan upasikha, keluarga serta sahabat. Apabila masing – masing kelompok melaksanakan kewajibannya masing–masing sebagaimana yang telah diajarkan oleh Sang Buddha, maka dalam kehidupan masyarakat akan menjadi ideal.
Sigalovada Sutta bermula dari kisah seorang pemuda bernama Sigala. Sigala merupakan seorang anak yang patuh, ketika ayahnya akan meninggal, Sigala dipanggil dan disuruh menjalankan nasehat terakhirnya. Ayahnya berpesan, “sesudah mandi pagi memujalah kepada enam arah, yaitu arah timur, selatan, barat, utara, bawah, dan atas”. Sigala menjalankan keinginan ayahnya, meskipun tidak mengetahui maknanya, karena Sigala ingin menghormati kata-kata ayahnya sehingga setiap hari ia bangun pagi–pagi dan memuja keenam arah. Pada suatu hari, Sang Buddha melihat Sigala menghormati ke enam arah dan menasihati bahwa apa yang ia lakukan keliru dan ada cara yang lebih baik untuk melaksanakan pesan ayahnya. Kemudian Sang Buddha memberikan kotbah kepada Sigala bahwa arti dari pesan yang disampaikan ayahnya adalah bahwa kita memiliki kewajiban menghormati sesama. Penghormatan yang dilakukan dilambangkan dengan enam arah, yaitu:
a. Arah timur sebagai Ayah dan Ibu
b. Arah selatan sebagai guru dan murid
c. Arah barat sebagi istri dan anak
d. Arah utara sebagai kawan dan sahabat
e. Arah bawah sebagai pelayan dan buruh
f. Arah atas sebagai rohaniawan.
Sigalovada Sutta berisikan ajaran Sang Buddha mengenai hal - hal yang harus dihindari, yaitu :
a. Empat cacat perilaku, yaitu pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang salah dan ucapan yang salah
b. Empat dorongan melakukan kejahatan yaitu keinginan, kebencian, ketakutan dan kebodohan
c. Enam saluran menghabiskan kekayaannya yaitu minuman keras, judi, berkeluyuran di jalan yang tidak pada waktunya, bergaul dengan wanita – wanita penghibur, teman yang jahat dan malas
d. Empat jenis sahabat palsu dan sejati
Enam arah ini hendaknya harus diketahui dan dilaksanakan oleh anak-anak seperti halnya tanggung jawab dengan berpedoman pada enambelas hal yang harus dihindari. Tanggung jawab ini jika dilaksanakan secara penuh, maka dengan mudah akan terlihat betapa norma-norma tersebut akan membawa rasa-syukur, hormat dan cinta, dan betapa norma-norma tersebut akan menuntun kita pada suatu ikatan kekeluargaan yang kuat.

Kapal Tekad Agung

Kapal Tekad Agung
Pada jaman dahulu kala ada seorang raja, bertanya pada Bhiksu Na Xian : “Melafal Amituofo dapat membawa serta karma terlahir ke Alam Sukhavati, ini merupakan hal yang sulit dipercaya”.
Bhiksu Na Xian bertanya pada raja : “Paduka, andaikata ada sebuah batu yang besar, ditaruh di atas air, apakah dia akan tenggelam ke dasar air?”
Raja menjawab : “Tentu saja akan tenggelam”.
Bhiksu Na Xian bertanya lagi : “Apakah ada cara agar dia tidak tenggelam?”
Raja menjawab : “Tidak mungkin”.
Bhiksu Na Xian berkata : “Bagaimana bila batu raksasa itu diletakkan di atas kapal raksasa, bukankah begini sudah bisa?”
Saat itu raja tiba-tiba jadi tercerahkan dan memahaminya, andaikata mengandalkan kekuatan-Nya, dengan sendirinya takkan tenggelam.
Praktisi pelafal Amituofo mengandalkan kekuatan Kapal Tekad Agung Buddha Amitabha, keluar dari lautan penderitaan, bersama-sama berlayar ke Alam Sukhavati, ikut serta dalam persamuan kolam teratai, adakah kesulitannya?
*Petikan Majalah Bulanan Ming Lun edisi 113

KISAH DAN ASAL USUL HARI CENG BENG (Festival Ching Ming) bagian 3 dari 5 Artikel Memaknai Perayaan Ceng Beng Utk Generasi Penerus

KISAH DAN ASAL USUL HARI CENG BENG (Festival Ching Ming) bagian 3 dari 5 Artikel
Memaknai Perayaan Ceng Beng Utk Generasi Penerus
6 Hal Yang Perlu Anda Lakukan Pada Saat Ziarah Cengbeng
Setiap tanggal 5 April, sebagian besar masyarakat Tionghoa di dunia selalu melakukan tradisi ziarah kuburan leluhur/orang tua, yang dikenal dengan sebutan Qing Ming (Hanzi : 清明; Hokkian : Cengbeng). Hari Cengbeng sendiri adalah salah satu momen berkumpulnya keluarga etnis Tionghoa selain hari raya Imlek. Berikut 6 hal yang harus anda persiapkan menjelang ziarah Cengbeng :
1. Menyiapkan Peralatan Dalam Membersihkan Makam
Membawa peralatan seperti sapu lidi, sarung tangan untuk mencabuti rumput liar, kuas dan cat untuk mengecat bagian yang luntur, dsb. Ada sebagian yang membersihkan makam sejak sebulan sebelum Cengbeng; ada juga yang membersihkannya pada saat Hari H nya. Namun bagi yang mau mengadakan sembahyang di makam langsung, ada baiknya membersihkan makam sebelum Hari H nya, agar tidak membebani nanti saat sembahyang di makam.
Segera perbaiki bagian makam yang pecah, rusak, atau luntur. Dari segi Fengshui, tentu sangat tidak baik apabila terdapat banyak pecah pada bagian tembok/tegel nya, apalagi sampai tumbuh tunas pohon di pinggirnya! Itu disebabkan karena kurangnya perhatian dari keluarga/ahli warisnya (bagi sebagian orang, ahli waris = beban seumur hidup), sudah sangat jarang menengok makam orang tuanya, bisa 3 tahun sekali baru datang ziarah.
Atau nanti jika mau ada anggota keluarga yang datang dari jauh, misalnya dari luar negeri (anggapan sebagian orang, tinggal di luar negeri = sudah sukses dan hidup makmur), baru mau datang cari muka untuk membersihkan dan ikut berziarah agar dianggap berbakti. Inilah fakta yang sebenarnya banyak terjadi pada sebagian etnis Tionghoa saat ini.
Namun ada juga Yayasan yang mengelola makam, dimana biasanya mereka memungut iuran bulanan/tahunan sebagai anggaran pemeliharaan makam di lokasi perkuburan. Jadi kita tidak perlu susah-susah lagi dalam membersihkan makam rutin. Yayasan ini biasanya mengelola di perkuburan marga khusus, atau di perkuburan umum area VIP.
2. Menyiapkan Makanan Persembahan Kepada Leluhur
Menu makanan untuk sembahyang leluhur sangat beragam, mengikuti adat kebiasaan setempat, dan mungkin ada yang menambahkan menu kesukaan leluhur sebelum meninggal. Menu sembahyang umumnya terdiri dari buah-buahan, manisan, kue basah dan kering, teh, ciu (sejenis arak atau minuman beralkohol setempat), dan menu makanan utama. Selengkapnya dapat dibaca pada artikel menu makanan sembahyang leluhur.
Namun seiring perkembangan zaman dan dengan alasan kepraktisan, orang mulai ‘menyederhanakan’ nya agar lebih mudah dibawa. Apalagi bagi keluarga yang tidak memiliki banyak sanak family, atau yang sanak family nya sudah tidak mau lagi pergi ke kuburan orang tua/leluhur dengan alasan sudah beragama lain. Tentu ini akan sangat memberatkan bagi anggota keluarga besar yang tersisa dalam menjalankannya, dan tidak sedikit yang akhirnya memilih untuk hanya melaksanakan sembahyang Cengbeng di rumah.
Mimin rekomendasikan untuk membawa menu ‘nasi kotak’ agar praktis. Sehabis sembahyang, tidak repot membereskannya jika dibanding membawa rantang dan piring. Apalagi yang membawa benda pecah belah; selain berat, resiko pecahnya juga besar. Selesai sembahyang, bisa langsung disantap dan jangan lupa buang sampah pada tempatnya, atau bawa pulang sekalian. Jangan biasakan buang di pinggir makam atau malah dibuang di makam tetangga; hati-hati ‘tuan rumah’ nya ngikut pulang lho 🙂
Selain itu, tambahkan saja 3 macam buah dan kue basah, aqua gelas/teh kotak, selesai. Tidak repot kan?
3. Saling Kontak Dengan Saudara Lainnya Untuk Menentukan Waktu dan Jam Pelaksanaan
Bagi yang punya keluarga besar, yang tersebar dari ujung Sabang sampai Merauke, tentu mereka akan saling mengabari dan mengatur jadwal pelaksanaan sembahyang ziarah Cengbeng tahunan. Ada ungkapan, lebih baik tidak pulang Imlek daripada tidak pulang Cengbeng. Jadi, sedemikian besarnya makna sembahyang Cengbeng ini bagi sebagian orang. Biasanya sejak H-14 mereka mulai mencari tiket murah meriah untuk PP, mengatur koper dan mengambil cuti (bagi yang kantoran).
4. Membawa Karangan Bunga
Bawalah se buket bunga untuk diletakkan di makam
Biasanya pada hari-hari mendekati Cengbeng, banyak penjual bunga mulai menjajakan berbagai jenis bunga hidup (bukan bunga hias ya) di emperan toko atau di pinggiran jalan menuju kompleks perkuburan. Boleh beli seikat buat ditaruh di makam orangtua/leluhur nantinya. Ini lebih baik ketimbang anda pergi dengan tangan kosong tanpa membawa apa-apa. Ini bisa jadi ‘menu wajib’ bagi etnis Tionghoa kristiani karena mereka sudah tidak lagi membawa kertas perak yang nantinya akan ditaruh diatas makam (sebagai penanda bahwa makam sudah dibersihkan).
5. Membawa Perlengkapan Persembahyangan
Bawalah perlengkapan sembahyang saat ziarah kubur
Jangan lupa untuk membawa perlengkapan sembahyang, seperti lilin, hio/dupa, dan kertas perak untuk ditabur diatas makam. Lalu kenapa disetiap kubur, diatasnya disebarkan/diletakkan kertas perak atau kuning setiap kali selesai dibersihkan?
Konon menurut cerita rakyat, asal mula ziarah kubur atau Ceng Beng ini berawal dari zaman kekaisaran Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M). Zhu Yuanzhang awalnya berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Karena itu dalam membesarkan dan mendidik Zhu Yuanzhang, orangtuanya meminta bantuan kepada sebuah kuil. Ketika dewasa, Zhu Yuanzhang memutuskan untuk bergabung dengan pemberontakan Sorban Merah, sebuah kelompok pemberontakan anti Dinasti Yuan (Mongol).
Berkat kecakapannya, dalam waktu singkat ia telah mendapat posisi penting dalam kelompok tersebut; untuk kemudian menaklukkan Dinasti Yuan (1271-1368 M); sampai akhirnya Beliau menjadi seorang kaisar. Setelah menjadi kaisar, Zhu Yuanzhang kembali ke desa untuk menjumpai orangtuanya. Sesampainya di desa ternyata orangtuanya telah meninggal dunia dan tidak diketahui keberadaan makamnya.
Kemudian untuk mengetahui keberadaan makam orangtua nya, sebagai seorang kaisar, Zhu Yuan Zhang memberi titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing pada hari yang telah ditentukan. Selain itu, diperintahkan juga untuk menaruh kertas kuning di atas masing-masing makam, sebagai tanda makam telah dibersihkan.
Setelah semua rakyat selesai berizarah, kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibesihkan serta tidak diberi tanda. Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan berasumsi bahawa di antara makam-makam tersebut pastilah merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan leluhur nya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi untuk setiap tahunnya.
6. Melaksanakan Sembahyang Cengbeng
Cengbeng adalah salah satu momen berkumpulnya sanak family
Yup! Ini adalah puncaknya. Momen berkumpul bersama keluarga besar saat Imlek terulang kembali; dan inilah inti dari rangkaian kegiatan persembahyangan Cengbeng sebenarnya. Selain itu, kita juga diingatkan pada jasa-jasa orang tua/leluhur yang telah mengasuh dan membesarkan kita sampai jadi orang saat ini. Ingatlah, tanpa mereka, kita tidak akan pernah ada. Jangan seperti jadi orang yang minum air namun lupa sumbernya!
Jangan sampai ada anggapan bahwa jika sudah beragama non Tionghoa maka sudah tidak perlu lagi ikut-ikutan sembahyang kubur, karena akan dianggap menyembah setan dan berhala. Anda-anda masih dapat ikut berpartisipasi dalam membersihkan makam, menyiapkan makanan; terlepas apakah nantinya anda akan menyantap makanan nya atau tidak (Fakta : sebagian orang sudah tidak mau lagi menyantap makanan bekas sembahnyang orang tuanya!), dan ikut sungkem pada saat sembahyang bersama dilakukan. Berdoalah menurut keyakinan Agama dan kepercayaan anda, itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan tanda bakti anda.
Banyak kejadian saat ini makam-makam Tionghoa sudah tidak terurus karena ahli waris/anak-anak ‘si empunya makam’ sudah enggan mengurusnya dengan alasan sangat sibuk dengan bisnisnya. Akibatnya makam ditumbuhi rumput dan tanaman liar yang merambat. Yang paling sial, si empunya makam tidak memiliki anak lelaki sebagai penerus marga dan penanggung ‘kewajiban’ keluarga (Fakta : dalam etnis Tionghoa, anak laki-laki sangat diprioritaskan dalam keluarga meski terlahir sebagai anak paling bontot bungsu).
Anak perempuan biasanya hanya akan ikut suaminya, dan syukur-syukur masih mengirimkan uang ‘santunan’. Jika tidak, maka kuburnya tinggal ditunggu saja kapan akan dibongkar pengelola makam (tidak tahu tulang belulangnya akan dikemanakan, bisa jadi hanya dibuang di got atau tempat sampah), atau ditimpali dengan makam baru (ini biasa terjadi di kompleks perkuburan yang sudah penuh sesak dan tidak ada lahan baru).
Kremasi wajib dilakukan di negara yang padat penduduknya
Tidak sedikit yang akhirnya menulis surat wasiat agar kelak nantinya di ngaben kremasi saja ketimbang dikubur daripada kelak menjadi beban.
Selamat merayakan festival Cengbeng