Tampilkan postingan dengan label kisah para buddha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah para buddha. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 September 2016

BUDDHA DAN AIR DANAU

Satu kali, Buddha sedang berjalan dari suatu kota ke kota lain dengan beberapa pengikutnya. Ketika mendekati sebuah danau, Buddha berkata kepada seorang pengikutnya: "Saya haus. Tolong ambilkan saya air dari danau itu."
Pengikutnya itu berjalan menuju danau itu. Ketika mendekat, dilihatnya beberapa orang sedang mencuci pakaian di danau itu, dan baru saja sebuah gerobak yg ditarik 2 ekor sapi melintasi pinggir danau itu. Air sekitarnya menjadi keruh dan berwarna gelap. Pengikut ini berpikir : "Mana mungkin memberi air keruh kepada Guru Buddha sbg air minum?"
Iapun kembali dan menyampaikan ke Buddha: " Airnya sedang keruh. Saya pikir belum bisa diminum."
Waktu berlalu, dan setengah jam kemudian Buddha memintanya keembali ke danau utk mengambilkan air minum untuknya. Dengan patuhnya iapun kembali ke danau. Sekarang air danau sudah menjadi bening kembali. Lumpurnya sudah mengendap dan air di atasnya sudah berubah jernih & siap diminum. Iapun mengisi potnya dengan air itu.
Ketika Buddha melihatnya, ia berkata kpd pengikutnya:
"Lihatlah, apa yg kamu lakukan utk membuat air itu jernih ?
Kamu diamkan, maka lumpurnya perlahan-lahan turun dengan sendirinya, dan kamu mendapat air yg bersih.
Begitu juga dengan pikiranmu.
Kalau sedang tidak tenang ataupun galau, diamkan saja dulu. Beri waktu sesaat, lalu pikiran keruhmu itu akan berubah dng sendirinya. Tidak usah repot utk mengendapkannya. 

                                             
                                           "Sabbe satta bhavantu sukhitatta"
                                             สัพเพ สัต ตา ภะ วัน ตุ สุขิตัต ตา

Apakah Yang Dilakukan Sang Buddha Dengan “Pose” Tangan-Nya?

Kita semua tentunya seringkali melihat rupang atau lukisan dari Sang Buddha yang dimana tangan Beliau membentuk beberapa pose yang sering disebut sebagai “Mudra”. Berikut adalah beberapa “Mudra” beserta dengan artinya dengan berbagai contoh Mudra yang diambil dari rupang - rupang Sang Buddha di Candi Borobudur.
1. MUDRA BUDDHA #1 : ABHAYA – TIADA KETAKUTAN
    Marilah kita mulai dengan salah satu bentuk Mudra yang sangat populer yang biasa disebut dengan Mudra Abhaya, yang melambangkan Tiada Ketakutan / Tidak Gentar.
Ini adalah bentuk Mudra yang sangat populer yang banyak sekali dijumpai dalam image Buddha baik itu berapa rupang, lukisan atau beberapa kerajinan tangan lainnya.
Apakah Mudra Abhaya? Abhaya jika diartikan dalam Bahasa Sansekerta berarti “Tiada Ketakutan”. Mudra Abhaya dibentuk dengan posisi tangan kira yang terbuka dan menengadah di pangkuan, sementara tangan kanan diangkat sedikit di atas lutut kanan dengan telapak yang mengahadap ke depan. Jika Anda melihat posisi Mudra Abhaya tersebut, Anda akan merasakan suatu bentuk perlindungan, kedamaian dan turut merasakan kekuatan yang luar biasa serta perasaan sangat aman. Mudra ini identik dengan Dhyani Budha Amogasidha yang berkuasa di utara.


2. MUDRA BUDDHA #2 : DHYANA – MEDITASI
Apakah Mudra Dhayana itu? Dhayana atau Mudra Samadhi adalah suatu gerakan Mudra yang memberikan energi meditasi, perenungan yang mendalam, penyatuan dengan kekuatan yang lebih besar.
Perputaran enerji ini terjadi dari bentuk segitiga yang terbentuk dari pertemuan kedua ibu jari dari kedua tangan dimana kedua tangan diletakan di pangkuan, tangan kanan berada di atas tangan , menengadah dan kedua ibu jari bertemu.
Dengan pose Mudra Dhyana ini dan mempraktekkannya, kita akan dapat merasakan kedamaian dan ketengangan ketika bermeditasi. Mudra ini identic dengan Dhyani Budha Amitabha yang menjadi penguasa daerah barat.


3. MUDRA BUDDHA #3 : BHUMISPARSA – MEMANGGIL BUMI SEBAGAI SAKSI
Mudra ini menggambarkan sikap tangan sedang menyentuh tanah. Tangan kiri terbuka dan menengadah di pangkuan, sedangkan tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan jari-jarinya menunjuk ke bawah.
Sikap tangan ini melambangkan saat Sang Budha memanggil Bumi sebagai saksi ketika ia menangkis serangan Iblis Mara.




4. MUDRA BUDDHA #4 : WARA – KEDERMAWANAN
Mudra ini menggambarkan pemberian amal. Sepintas sikap tangan ini tampak nampak serupa dengan Bhumisparca Mudra tetapi telapak tangan yang kanan menghadap ke atas sedangkan jari-jarinya terletak di lutut kanan. Dengan mudra ini dapat dikenali Dhyani Budha Ratna Sambawa yang bertahta di selatan.


5. MUDRA BUDDHA #5 : DHARMACHAKRA - PEMUTARAN RODA DHARMA
Mudra ini melambangkan gerak memutar roda dharma. Kedua tangan diangkat sampai ke depan dada, yang kiri di bawah yang kanan. Tangan yang kiri itu menghadap ke atas, dengan jari manisnya. Sikap tangan demikian memang serupa benar dengan gerak memutar sebuah roda. Mudra ini menjadi ciri khas bagi Dhyani Budha Wairocana yang daerah kekuasaannya terletak di pusat.

Rabu, 28 September 2016

Delapan Cara Menjalani Hidup Menurut Buddhisme

Delapan Cara Menjalani Hidup Menurut Buddhisme:
1. Appreciate - Menghargai segala sesuatu
2. Relax - Tidak terburu buru
3. Smile - Selalu tersenyum & penuh suka cita
4. Let Go - Melepaskan, tidak terikat
5. Aware - Selalu penuh kesadaran
6. Thankful - Bersyukur atas segala sesuatu, baik / buruk
7. Forgive - Memaafkan
8. Action - Bertindak, tidak hanya berteori saja




Kamis, 14 Juli 2016

3 Roti dan 3 Nasihat



Seorang pekerja setelah bekerja selama 20 tahun di kota, ia memasuki masa pensiun dan pulang ke kampung halamannya. Ia-pun berpamitan pada Bos-nya.

Si Bos berkata, "Kamu sudah kerja di sini 20 tahun dengan baik, sekarang saya tanya kamu: mau uang pensiun 20 tahun atau 3 nasihat saya?"

Pekerja pikir sejenak, lalu memilih meminta 3 nasihat bosnya.

🌟 *Nasihat pertama* 
Jangan pernah mau cari jalan pintas, tidak ada yg mudah dan gratis di dunia ini, lakukan sesuatu step by step dengan mantap dan mandiri.

🌟 *Nasihat kedua* 
Terhadap sesuatu hal yg tidak baik, jangan menaruh rasa ingin tahu yg mendalam, hal itu bisa merenggut nyawamu.

🌟 *Nasihat ketiga* 
Jangan mengambil keputusan apapun saat sedang emosi, hal tersebut akan membuat kamu menyesal seumur hidup.

Lalu Bos memberikan uang jalan dan 3 buah Roti dengan pesan: "roti yg paling besar dimakan dengan keluarga saat sampai di rumah."

Esok hari, si Pekerja pamit dan memulai perjalanan pulang ke kampung halamannya. Ketika sampai di salah satu kampung, dia bertanya, "jalan mana paling dekat ke kampung saya?"

A menjawab : jalan kecil lebih dekat.
B menjawab : jalan besar lebih aman.

Karena ingin cepat sampai di rumah, lalu dia memilih jalan kecil. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang dari arah berlawanan yang memberitahukan, "di jalan kecil banyak perampok." Lalu, dia pun ingat nasihat bosnya, dan kembali lagi lewat jalan besar. Sangking laparnya, dia pun melahap roti ke 1 yang diberi bosnya.

Karena sudah malam, dia pun menginap di Losmen. Malam harinya, dia mendengar suara seorang wanita menangis, namun dia ingat nasihat ke 2 dari bosnya, maka dia pun mengurungkan niatnya keluar melihat dan makan roti ke 2 di kamar.

Besok pagi saat dia bangun, orang kampung heran dan bertanya kepadanya : 
"Kok kamu masih hidup ? Semalam ada seorang wanita gila menangis memancing tamu keluar lalu membunuhnya. Syukurlah kamu tidak keluar."

Sesampainya di kampung halamannya, ia langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, sudah malam hari, dia pun diam-diam mau memberikan kejutan kepada Istrinya, lalu dia masuk ke kamar. Alangkah terkejutnya dia melihat seorang lelaki tidur dengan istrinya.

Emosinya meluap lalu mengambil parang hendak membunuh lelaki tersebut, namun dia mengingat nasihat ke-3 dari bosnya, lalu ia mengurungkan niatnya, dan tidur di luar.

Keesokan harinya, istrinya bangun dan menemukan suaminya tidur di luar. Alangkah senangnya si istri yang kemudian memanggil pria yang menemaninya tidur selama suaminya tidak ada di rumah : "Xiao Qiang, Xiao Qiang, kemarilah... Ayahmu pulang".

Alangkah terkejutnya ternyata anak lelaki tersebut ternyata adalah anak kandungnya sendiri.

Istrinya berkata: "Saat kamu berangkat, saya sudah hamil. Selama ini tidak bisa menghubungimu"

Lalu dipeluklah anaknya dengan haru. Ia-pun meneteskan air mata, karena hampir saja dia membunuh anaknya sendiri jika tidak mengingat nasihat bosnya.

Ketika ia bercerita tentang pengalamannya dan 3 nasihat bosnya, ia pun ingat roti besar untuk dimakan di rumah.

Setelah dibuka, ternyata di dalamnya terselip uang pensiun selama 20 tahun dia bekerja.

Akhir cerita keluarga mereka hidup berbahagia.

Moral: Hati-hati dalam Mengambil Keputusan.

Senin, 11 Juli 2016

The Four Heavenly Kings



The Four Heavenly Kings / Catur Maharaja Kayika / Empat Maharaja Langit - Bagian 1

Menurut kepercayaan Buddhis, Catur Maharaja Kayika atau Empat Maharaja Langit adalah empat dewa yang masing-masing mengawasi salah satu mata angin dunia ini. Mereka adalah empat raja dewa, para jenderal dewa Sakra yang tinggal di keempat sisi Gunung Meru dan bertugas untuk menjaga dunia dari serangan roh-roh jahat (Asura).


Di China, mereka berempat disebut sebagai Si Da Tian Wang (四大天王) / Si Twa Thien Ong (Hokkian).

Empat Maharaja Langit ini sering disebut juga sebagai Si Da Jin Gang / Si Twa Kim Kong (四大金剛) yang berarti Empat Prajurit Pengawal Buddha (Sansekerta = Catur Vajra). Empat Maharaja Langit ini adalah para hulu balang yang menjaga langit. Mereka adalah penguasa benua-benua yang terletak di ke empat mata angin dari Gunung Suci Semeru yang dianggap oleh para umat Buddha sebagai pusat dunia. Mereka juga dianggap bisa melimpahkan berkah kepada siapa saja yang menghormati Tri Ratna Buddha (Tiga Pusaka Buddhisme) yaitu Buddha, Dharma & Sangha.

Empat Maharaja Langit dipercaya tinggal di alam surga Cāturmahārājika (Pāli Cātummahārājika, "Untuk Empat Maharaja") yang terletak di tepi Gunung Sumeru, yaitu alam terendah dari keenam alam dewa menurut Kāmadhātu. Mereka adalah para pelindung dunia dan pahlawan yang melawan kejahatan, masing-masing mengomando sebuah legiun makhluk-makhluk supranatural untuk melindungi Dharma.

Ke-Empat Maharaja Langit ini terdiri dari:

1. Nan Fang Zeng Chang Tian Wang (南方增長天王) / Virudhaka yang berwajah biru dan berkuasa di wilayah Selatan.

2. Xi Fang Guang Mu Tian Wang (西方廣目天王) / Virupaksa yang berwajah merah dan berkuasa di wilayah barat.

3. Bei Fang Duo Wen Tian Wang (北方多聞天王) / Dhanada yang berwajah kuning dan berkuasa di wilayah Utara.

4. Dong Fang Che Guo Tian Wang (東方持國天王) / Dhatarastra yang berwajah putih berkuasa di wilayah Timur.

Setelah Buddhisme memasuki Daratan Tiongkok, muncullah versi Tionghoa untuk Empat Maharaja Langit ini. Mereka sering kali muncul dalam bentuk arca yang berukuran besar dan menjaga sebelah kiri & kanan pintu besar vihara-vihara Buddhis. Hampir semua vihara Buddhis, seperti Shao Lin Si (kuil Shao Lim) di pegunungan Song Shan, Bi Yun Si di lereng Utara bukit Xiang Shan dekat Bei Jing dan lain-lain, terdapat arca-arca mereka berempat dalam ukuran besar. Kira-kira 3 kali ukuran manusia.

Dalam versi Tionghoa, Empat Maharaja Langit digambarkan sebagai 4 saudara yang bertubuh raksasa, memakai pakaian perang yang lengkap & memegang senjata yang berbeda-beda. Riwayat mereka terdapat dalam novel Feng Shen / Hong Sin / Kisah Penganugerahan Dewa, dan disebut sebagai 4 Saudara dari keluarga Mo.

Baris Keempat : Buddha Pada Masa Yang Akan Datang Dan Para Pelindung Dharma - Bagian Keempat (Bagian Akhir)



KIRI
Guāndì (关帝) / Guāngōng (关公) / Guān Yǔ (关羽) / Sangharama Bodhisattva merupakan jenderal utama yang sangat terkenal Negara Shu Han dari periode Tiga Kerajaan. Guāngōng dipuja karena kejujuran dan kesetiaan. Dia adalah lambang atau tauladan kesatria sejati yang selalu menempati janji dan setia pada sumpahnya. Sebab itu Guāngōng banyak dipuja dikalangan masyarakat, disamping kelenteng-kelenteng khusus. Disamping dipuja sebagai lambang kesetiaan dan kejujuran, Guāngōng juga dipuja sebagai Dewa Pelindung Perdagangan, Dewa Pelindung Kesusastraan dan Dewa Pelindung rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan.


TENGAH 
Mílè fó (弥勒佛) / Maitreya adalah Buddha yang akan datang. Dalam agama Buddha diajarkan bahwa buddha merupakan sebuah gelar, sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada Buddha Sakyamuni saja. Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai bodhisattva (calon Buddha). Maitreya bertempat tinggal di surga Tusita, yang merupakan tempat tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di dunia.

KANAN
Wéituó púsà (韦驮菩萨) / Skanda Bodhisattva adalah Bodhisattva pelindung Dharma yang biasanya kita dapat kita jumpai arcanya di samping Buddha Sakyamuni atau di samping Maitreya Bodhisattva. Bodhisattva ini digambarkan dengan pakaian perang lengkap dan tangannya memegang gada penakluk iblis, dengan wajah tampan dan mengenakan seragam dewa perang dengan memegang sebilah ruyung yaitu sejenis pedang yang berjeruji dan mengenakan selendang dewata. Wei Tuo sering juga ditampilkan sebagai malaikat pintu yang menjaga vihara-vihara atau kelenteng-kelenteng Buddha

Baris Ketiga : Dunia Para Arwah dan Para Pelindung Dharma - Bagian Ketiga



KIRI (MEMEGANG MANGKUK)
Duke Mǐn / Mǐn gōng chángzhāi (闵公长斋) adalah seorang bangsawan / raja yang memiliki sebuah kerajaan yang dengan kesungguhan hatinya menjadi seorang Buddhis dan mendonasikan / menyumbangkan sebidang lahan untuk mendirikan Vihara / Kuil kepada Ksitigarbha Bodhisattva dan kemudian meninggalkan seluruh kerajaan nya untuk menjadi seorang biarawan dan bahkan meminta anaknya (yang sudah menjadi seorang biarawan) untuk menjadi gurunya. Julukan "chángzhāi" yang berarti "menjadi vegetarian selamanya".


TENGAH 
Dìzàng wáng púsà (地藏王菩萨) / Earth Treasury King Bodhisattva / Kṣitigarbha Bodhisattva adalah salah satu dari 4 bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur yang biasanya dimanifestasikan dalam bentuk rupa seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", atau "Rahim Bumi". Ksitigarbha terkenal oleh komitmen tekadnya untuk mengambil tanggung jawab atas seluruh mahluk di enam alam, pada masa antara berakhirnya Buddha Gautama (Shakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga oleh komitmen tekad mulianya untuk tidak mencapai pencerahan sebelum penghuni alam neraka menjadi kosong.

KANAN
Dàomíng zūnzhě (道明尊者) digambarkan sebagai sosok anak muda yang berdiri berdampingan dengan Ksitigarbha Bodhisattva sebenarnya adalah seorang pangeran yang menjadi biarawan di bawah bimbingan langsung Ksitigarbha dan kemudian menjadi guru dari ayah kandung nya sendiri yaitu Mǐn gōng chángzhāi. Dia selalu direpresentasikan dengan figur menyerupai Moghalana, salah satu murid Sang Buddha yang terkenal dengan kisahnya yang menerobos alam neraka untuk menyelamatkan ibu kandungnya.

DI KEDUA SISI UJUNG KIRI DAN KANAN
Four Celestial Kings / Empat Raja Langit / Tiānwáng (天王) / Diamond Kings / Jīngāngwán (金刚王) adalah empat sosok yang mengelilingi ketiga figur tersebut. Mereka adalah empat sosok pelindung Buddhis.

*Untuk Empat Raja Langit akan dibahasa secara detail masing-masing Raja Langit pada artikel yang akan datang

Kampus Kehidupan



Pada suatu hari, seorang yg bijak meminta seorang tukang emas yang sudah tua untuk membuat cincin dan menuliskan sesuatu di dalamnya.

Sang bijak berpesan, "Tuliskanlah sesuatu yang bisa disimpulkan dari seluruh pengalaman dan perjalanan hidupmu supaya bisa menjadi pelajaran bagi hidupku."


Berbulan-bulan si tukang emas yang tua membuat cincin tersebut merenung... kalimat apa yang patut diukir di cincin emas yang kecil itu.

Akhirnya, si tukang emas mengukir sepotong kalimat, dan menyerahkan cincinnya pada sang bijak.

Dengan tersenyum, sang bijak membaca tulisan kecil di cincin itu. Bunyinya,

"THIS TOO, SHALL PASS"

(Yang ini pun, akan berlalu)

Awalnya sang bijak tidak terlalu paham dengan tulisan itu. 
Tapi suatu ketika, tatkala menghadapi persoalan hidup yang pelik, tak sengaja ia membaca tulisan di cincin itu
"Yang ini pun akan berlalu"
lalu ia pun menjadi lebih tenang

Dan tatkala ia sedang bersenang-senang, ia pun tak sengaja membaca tulisan di cincin itu
"Yang ini pun akan berlalu"
lantas ia menjadi rendah hati kembali.

Ketika kita mempunyai masalah besar ataupun sedang dalam kondisi terlalu gembira, ingatlah kalimat :

"Yang ini pun akan berlalu"

Tidak ada satupun di dunia ini yang abadi.

Jadi, ketika kita punya masalah, jalanilah & janganlah terlalu bersedih.

Demikian juga tatkala kita sedang senang, nikmatilah dan syukuri, jangan lupa diri.

Ingatlah, apapun yang kita hadapi saat ini, 
"semuanya akan berlalu"

Kerajaan Lebah



Suatu hari, Sang Buddha Sakyamuni beserta para pengikut Beliau, termasuk muridnya Maudgalyayana, singgah di suatu kerajaan untuk menyebarkan ajaran Sang Buddha. Ketika para penduduk di sana melihat Sang Buddha, mereka menutup pintu rumah mereka dan mengacuhkan Beliau.

Namun ketika mereka melihat Maudgalyayana, mereka segera menyambutnya. Semua orang, dari Raja, menteri, dan seluruh rakyat di sana, semua memberi hormat, bahkan berebutan untuk memberikan persembahan kepadanya.

Murid Buddha lainnya berpikir bahwa ini tidaklah adil. “Sang Bhagava,” kata para murid Buddha, “Kebajikan Anda begitu Agung/ Mulia; mengapa mereka tidak memberikan persembahan kepada Anda, tapi malah berebutan untuk memberikan persembahan kepada Maudgalyayana?”

“Ini disebabkan oleh ikatan (karma) masa lampau," kata Sang Buddha. "Saya akan memberitahu Anda. Pada masa lampau, sejauh kalpa yang tak terhitung banyaknya, Maudgalyayana dan saya hidup di negara yang sama. Dia mengumpulkan kayu bakar di gunung, sedangkan saya tinggal di gubuk di bawah gunung. Segerombolan lebah mengganggu saya, dan kemudian saya mengusir mereka.

Tapi Maudgalyayana menolak untuk membantu (mengusir lebah-lebah itu), meskipun mereka menyengatnya sampai tangannya bengkak dan nyeri. Malahan, ia berikrar, ‘Pastilah sengsara hidup sebagai (menjadi) lebah,’ pikirnya. ‘Saya berikrar bahwa ketika saya mencapai Pencerahan, saya akan berusaha untuk menyelamatkan lebah yang seperti asura ini!’

Banyak kehidupan telah berlalu, kini lebah-lebah tersebut dilahirkan kembali sebagai penduduk di kerajaan ini. Ratu lebah menjadi Raja, lebah-lebah jantan-nya menjadi menteri, dan para lebah pekerja menjadi warga/ penduduk di sini. Karena dahulu saya tidak menyukai lebah-lebah tersebut, sekarang saya tidak memiliki ikatan (karma) dengan orang-orang ini, maka sekarang tidak ada yang memberikan persembahan kepada saya. Tetapi karena ikrar Maudgalyayana, semua penduduk di sini menghormatinya.”

LAND OF THE BEES

Once Sakyamuni Buddha and his disciple Maudgalyayana went with a large gathering of followers to another country to convert living beings. When the citizens saw the Buddha they shut their doors and ignored him.

When they saw Maudgalyayana, however, they ran to greet him, and everyone, from the King and ministers to the citizens, all bowed and competed to make offerings to him.

The Buddha's disciples thought this most unfair. 'World Honored One,' they said, 'your virtuous conduct is so lofty; why is it that they do not make offerings to you, but instead compete to make offerings to Maudgalyayana?'

'This is because of past affinities,' said the Buddha." I will tell you. Limitless aeons ago, Maudgalyayana and I were fellow-countrymen. He gathered firewood in the mountains and I lived in a hut below. A swarm of bees was bothering me and I decided to smoke them out.

But Maudgalyayana refused to help even though they stung him until his hands were swollen and painful. Instead, he made a vow, "It must be miserable to be a bee," he thought. "I vow that when I attain the Way I will try to save these asura-like bees first thing!"

Many lifetimes later the bees were reborn as the citizens of this country. The queen bee became the King, the drones became the ministers, and the workers became the citizens. Because I didn't like the bees, I now have no affinity with these people and therefore no one makes offerings to me. But because of his vow, all the citizens revere Maudgalyayana'.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS (BAGIAN 6 - AKHIR)



SILA 5 - TIDAK MENGKONSUMSI MINUMAN DAN OBAT OBATAN YANG DAPAT MELEMAHKAN KESADARAN / ABSTAIN FROM TAKING IN DRINKS AND DRUGS THAT ARE INTOXICATING AND CAUSE FORGETFULNESS

Sila kelima didasarkan pada menjaga pikiran yang jernih dan tubuh yang sehat. Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang berbicara Dharma untuk majelis, seorang pemuda yang mabuk terhuyung-huyung masuk ke dalam ruangan. Dia tersandung beberapa biksu yang sedang duduk di lantai dan mulai memaki-maki dengan keras. Napasnya berbau alkohol dan memenuhi udara dengan bau yang memuakkan. Bergumam pada dirinya sendiri, ia terhuyung-huyung keluar dari pintu.


Semua orang heran melihat perilaku kasarnya, tapi Sang Buddha tetap tenang. "Majelis yang terhormat!" ia berbicara, "Lihatlah orang ini. Ia pasti akan kehilangan kekayaan dan nama baik. Tubuhnya akan menjadi lemah dan sakit-sakitan. Siang dan malam, ia akan bertengkar dengan keluarga dan teman-temannya sampai mereka meninggalkannya. Yang terburuk adalah bahwa ia akan kehilangan kebijaksanaan dan menjadi bodoh."

Sedikit demi sedikit, kita dapat belajar untuk mengikuti sila-sila ini. Jika kita kadang-kadang lupa, kita dapat memulainya lagi. Mengikuti ajaran-ajaran ini adalah pekerjaan seumur hidup. Jika seseorang membunuh atau melukai perasaan seseorang karena kesalahan, itu adalah melanggar sila, tapi itu tidak dilakukan dengan sengaja.

Hilangnya pengendalian terhadap kesadaran dapat mengakibatkan hilangnya pengendalian terhadap pikiran, ucapan dan perbuatan. Seseorang yang melanggar sila kelima ini kesadarannya hilang, dan dia dapat melakukan apa saja yang dapat membahayakan dirinya sendiri.

Sila kelima ini telah dilanggar, bila terdapat lima macam faktor sebagai berikut:

1. Sesuatu yang merupakan sura, meraya, atau majja
2. Ada niat untuk meminum, menggunakannya
3. Meminum atau menggunakannya
4. Timbul gejala-gejala mabuk

Tujuan dari pelaksanaan sila kelima ini adalah untuk melatih kesadaran kita terhadap segala hal yang dapat memperlemah pengendalian diri dan kewaspadaan. Dengan mengontrol pikiran dengan benar, dan selalu waspada terhadap segala tindakan yang kita perbuat. Jadi, waspadalah terhadap semua tindakan yang akan kita perbuat.

Dari uraian-uraian di artikel mengenai Pancasila Buddhis ini, dapatlah kita ketahui bahwa peranan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari sangat bermanfaat terlebih-lebih pada zaman sekarang. Dimana zaman sekarang banyak umat Buddhis yang moralitasnya turun. Di samping moralitas mulai turun, mereka juga belum mengerti sepenuhnya tentang akibat pelanggaran Pancasila Buddhis.

Dengan penerapan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari diharapkan semua umat awam menjalaninya dengan sungguh-sungguh.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS (BAGIAN 5)



SILA 4 - TIDAK BERBOHONG / ABSTAIN FROM SAYING WHAT IS NOT TRUE

Kejujuran membawa perdamaian pada dunia. Ketika ada kesalah-pahaman, hal terbaik adalah membicarakannya. Sila ini termasuk tidak menggosip, tidak memfitnah, tidak ada kata-kata kasar dan tidak ada kata-kata yang tak berarti.


Seorang umat awan hendaknya menghindari perkataan yang tidak benar dan selalu mengucapkan kata-kata yang sopan. Sehingga, di dalam hidup bermasyarakat akan tercipta suasana yang tenang, karena tidak ada kebohongan diantara semuanya.

Musavada telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:

1. Sesuatu atau hal yang tidak benar
2. Mempunyai niat untuk menyesatkan
3. Berusaha untuk menyesatkan
4. Orang lain jadi tersesat

Buddha mengajarkan bahwa “ seseorang seharusnya mengucapkan hanya ucapan yang menyenangkan, ucapan yang disambut dengan gembira. Ketika diucapkan tidak membawa keburukan apa yangdiucapkan adalah menyenangkan bagi orang lain” ( Samyutta Nikaya, 2010 :287).

Dalam kehidupan sehari-hari kita hendaknya berbicara dengan benar dan gembira. Suatu perkataan itu mengandung makna dan bermanfaat. Sehingga orang yang mendengar akan senang dengan ucapan kita.

Dalam Kakacupama Sutta Majjhima Nikaya 1, Buddha mengatakan bahwa, ucapan benar dapat terjadi apabila terdapat 5 syarat sebagai berikut:

1. Ucapan itu tepat pada waktunya
2. Ucapan itu sesuai kebenaran
3. Ucapan itu lembut
4. Ucapan itu bermanfaat
5. Ucapan itu penuh cinta kasih

Penjelasan di atas merupakan syarat dari ucapan benar. Seorang umat Buddha sebaiknya, melakukan 5 syarat di atas. Ucapan benar akan menimbulkan kebijaksanaan, menciptakan perdamaian dan menghilangkan perpecahan.

Ucapan yang tidak benar ini akan menimbulkan kamma buruk bagi pelakunya. Diantaranya, tidak dipercayai oleh orang lain, dan menderita karena dia telah mengucapkan perkataan yang tidak benar. Untuk itu hindarilah ucapan berbohong dan selalu mengucapkan kata-kata yang benar dan bermanfaat.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS (BAGIAN 4)



SILA 3 - TIDAK MELAKUKAN PERZINAHAN / ABSTAIN FROM SEXUAL MISCONDUCT

Tingkah laku yang baik dengan menunjukkan rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain. Tubuh kita adalah hadiah dari orang tua kita, jadi kita harus melindungi mereka dari bahaya. Kaum muda khususnya harus menjaga kodrat murni dan mengembangkan kebajikan mereka. Terserah kepada pilihan mereka untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup. Dalam keluarga bahagia, suami dan istri saling menghormati.


Menahan diri merupakan hal yang terpenting dalam Buddhisme. Untuk itu kita harus menjaga perilaku kita sebaik mungkin, agar pelanggaran sila ketiga ini tidak muncul. Perilaku seksual bermacam-macam, diantaranya: berzinah, perkosaan, dan perselingkuhan.

Suatu tindakan asusila telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:

1. Orang yang tidak patut untuk disetubuhi
2. Mempunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut
3. Melakukan usaha untuk menyetubuhinya
4. Berhasil menyetubuhinya

Yang dimaksudkan dengan berhasil menyetubuhi adalah berhasil memasukkan alat kelaminnya ke dalam salah satu dari rahim, dubur dan mulut walaupun sedalam biji wijen. Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaannya, serta status atau tingkat rohani dari wanita yang bersangkutan, misalnya seorang bhikkhuni atau mereka yang telah mencapai kesucian. Buah kamma yang kita dapat, apabila kita melanggar sila ketiga yaitu kita tidak disenangi teman dan mempunyai pasangan hidup yang tidak disenangi orang lain.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS (BAGIAN 3)



SILA 2 - TIDAK MENCURI / ABSTAIN FROM TAKING WHAT IS NOT GIVEN

Semua agama juga mengajarkan untuk tidak mencuri. Dalam agama Buddha, mencuri adalah pelanggaran sila kedua. Buddha mengajarkan bahwa akibat mencuri akan membawa penderitaan bagi si pencuri itu sendiri. Hal ini diuraikan jelas di dalam kitab Samyutta Nikaya (III, 15). Ketika beliau berkata kepada para bhikkhu bahwa manusia mencuri akan berakibat: “ia akan terus merampok/ mencuri, hingga saat tindakan tersebut menjadi penyebab kematiannya”.


Jadi si pelaku itu akan terus mencuri, sebelum dia menyesal bahwa pencurian mengakibatkan dia terlahir di alam rendah. Untuk itu dia harus menyadari bahwa mencuri itu adalah perbuatan yang buruk serta melanggar sila. Akibat melanggar sila adalah si pelaku terlahir di alam apaya 4.

Suatu pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor, sebagai berikut:

1. Suatu barang milik orang lain
2. Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya
3. Berniat untuk mencurinya
4. Melakukan usaha untuk mengambilnya
5. Berhasil mengambil melalui usaha itu

Jika kita mencuri dari orang lain, kita mencuri dari diri kita sendiri. Sebaliknya, kita harus belajar untuk memberi dan menjaga barang-barang milik keluarga kita, milik sekolah, atau milik umum. Bila kita tidak mau kehilangan apa yang kita miliki, kita tidak boleh mengambil barang milik orang lain. Seseorang hendaknya memiliki rasa saling menghargai kepemilikkan orang lain terhadap benda tersebut. Jadi dengan menghargai kepemilikkan orang lain, kita juga menghargai benda yang kita miliki.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS (BAGIAN 2)



SILA 1 - TIDAK MENYAKITI & MEMBUNUH / ABSTAIN FROM KILLING ANY LIVING BEINGS

Sang Buddha berkata, "Hidup ini berharga bagi semua makhluk. Mereka memiliki hak untuk hidup yang sama seperti kita." Kita harus menghormati semua kehidupan dan tidak membunuh apa pun. Membunuh semut dan nyamuk juga melanggar sila ini. Kita harus memiliki sikap cinta kasih terhadap semua makhluk, berharap mereka untuk menjadi bahagia dan bebas dari bahaya. Merawat bumi, termasuk sungai dan udara.


Suatu pembunuhan telah terjadi apabila terdapat lima faktor, yaitu:

1. Ada makhluk hidup
2. Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup
3. Berniat untuk membunuh
4. Melakukan usaha untuk membunuh
5. Makhluk tersebut meninggal karena usaha itu

Apabila terdapat faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Karena sila sangat berpengaruh pada kamma, dan kamma inilah yang akan membawa kemana kita akan terlahir kembali. Untuk itu hindarilah diri kita dari perbuatan pembunuhan. Senantiasa menginginkan kesejahteraan bagi semua makhluk dilandasi dengan rasa cinta kasih. Jadi seorang umat yang melanggar pembunuhan hidupnya tidak tenang, umurnya relatife pendek, dan cenderung memiliki penyakit.

Dalam Samyutta Nikaya (III, 15), Buddha mengajarkan bahwa “pembunuh melahirkan pembunuh”. Di kisahkan seperti cerita dari keturunan Raja Bimbisara. Keturunan Raja Bimbisara ini adalah mereka yang membunuh ayahnya masing-masing. Salah satunya adalah anak dari Raja Bimbisara yaitu Raja Ajatasattu yang membunuh Raja Bimbisara atau ayahnya. Ini adalah kisah singkat mengenai pembunuh melahirkan pembunuh.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS



Setelah dijabarkan di artikel sebelumnya mengenai EMPAT KEBENARAN MULIA (FOUR NOBLES TRUTH) & JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN (THE NOBLE EIGHTFOLD PATH), maka kali ini Cetya Tathagata Jakarta akan memberikan artikel mengenai PANCASILA BUDDHIS (THE FIVE PRECEPTS) yang merupakan aturan dasar moral bagi para umat Buddha. Artikel ini akan terbagi menjadi 6 bagian.

PANCASILA BUDDHIS / 5 SILA BUDDHIS / THE FIVE PRECEPTS (BAGIAN 1)


Pancasila berasal dari dua kata yaitu Panca dan Sila.
Panca berarti lima / 5
Sila berarti sifat alami; adat kebiasaan; praktek moral; kode dari kemoralan

Jadi pancasila adalah lima adat kebiasaan atau praktek moral dalam agama Buddha. Pancasila adalah latihan moral tahap pertama dari seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama menurut agama Buddha.

Pancasila Buddhis digunakan untuk seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha bersabda bahwa, “Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya (Dhammapada, XVI: 217).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pancasila merupakan dasar utama dalam pengamalan ajaran agama. Sebagai umat Buddha pancasila Buddhis ini sebaiknya dilaksanakan dengan tekun dan ketat. Dengan menjalani pancasila Buddhis sesuai ajaran Sang Buddha. Lima sila di dalam kehidupan sehari-hari ini apabila dilakukan, akan membawa manfaat yang sangat banyak bagi kehidupan sehari-hari. Antara lain kita akan mendapatkan perlindungan dari Sang Buddha.

Pelaksanaan aturan moralitas Buddhis bagi umat awan bertujuan untuk memperoleh kedamaian dan ketenangan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sila adalah langkah terpenting dalam menjalani kehidupan untuk mencapai peningkatan batin yang luhur. Menjalani pancasila Buddhis dengan tekun, hendaknya umat tidak boleh melanggar pancasila Buddhis.

Kelima sila dalam Pancasila Buddhis adalah sebagai berikut:

1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan / Pānātipātā veramani sikkhapadam samādiyāmi

2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan / Adinnādānā veramani sikkhapadam samādiyāmi

3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila / Kāmesu micchācāra veramani sikkhapadam samādiyāmi

4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar, berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong / Musāvāda veramani sikkhapadam samādiyāmi

5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan / Surāmeraya majjapamādatthānā veramani sikkhapadam samādiyāmi